Bismillahirrohmaanirrohiim
Amma Ba'du
Dunia masih mengenangnya. Airmata masih ada yang mengalir ketika mengingat kebesarannya. Ada rasa malu kalau membandingkan dengan keadaan kita sekarang. Ada rasa haru kalau melihat kembali perjuangan-perjuangannya; bagaimana ia dengan penuh kasih-sayang mengusap darah suaminya seusai perang dan merawatnya penuh perhatian; bagaimana ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan bagaimana ia menginap di rumah Rasulullah sementara ‘Ali menggantikan tempat tidur Nabi saat orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rasulullah meninggalkan Makkah dan bersembunyi di gua Tsaur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.
Fathimah sangat besar perjuangannya. Dia adalah putri dari seorang yang suci. Dia sendiri suci. Dari rahimnya yang suci, kita pernah mendengar nama Al-Hasan dan Al-Husain yang ikut bersama kakeknya ketika akan melakukan mubahalah (perang doa) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga melahirkan Zainab yang kelak harus meninggalkan Mesir. Dari keturunan Zainab inilah kelak Imam Syafi’I mendapat tempat dan perlindungan. Juga membuka pesantrennya.
Jika pada tanggal 10 Dzulhijjah orang-orang Islam bergembira ketika memotong leher kambing dan onta, hari itu hati yang bersih menjerit menangis ketika penguasa yang zalim memotong leher orang yang paling dicintai Rasulullah Saw.. Jika dulu Fathimah Az-Zahra membukakan pintu kepada Rasulullah ketika akan menemui Al-Husain, hari itu para wanita segera menutup wajahnya dengan niqab untuk menyembunyikan keperihan hatinya ketika melihat kepala Al-Husain diarak. Jika dulu Rasulullah sering mendekap dan menciumnya, hari itu wajah yang sering didoakan Rasulullah itu dihinakan. Bahkan ketika sudah menjadi mayat, giginya masih diantuk-antuk dengan ujung pedang. Padahal, jenazah orang kafir saja kita disuruh menghormati.
Akan tetapi Al-Husain justru harum dengan darahnya. Sama seperti airmata Zainab yang menyelamatkan ‘Ali Ausath, satu-satunya putra Al-Husain yang masih tersisa dari pembantian. Airmata itu sampai sekarang tetap mengalir di dada kaum muslimin yang tahu hak mereka, bercampur dengan darah Al-Husain yang harum.
Pelajaran kadang memang harus pahit. Namun peristiwa di tanah duka (Karbala) itu rasanya terlalu pahit. Hanya Al-Husain yang sanggup memikul kemuliaan itu. Kita yang mencintai leher kita, apalagi kita masih mencintai sapu tangan dan keramik unik, tidak cukup layak untuk mendapatkan kehormatan. Alangkah tingginya Al-Husain dan keturunannya. Alangkah jauhnya kita darinya. Lantas, apakah masih ada alasan untuk bersombong di hadapan kemuliannya?
Kita memang terlalu jauh dari derajat Al-Husain. Bahkan untuk layak disebut sebagai golongan yang mencintainya saja, entah layak entah tidak. Sekadar meniru An-Nasa’I saja, saya belum yakin kita mempunyai cukup keberanian dan ketegaran. Sekarang, tangan kita lecet sedikit saja sudah membuat wajah kita muram dan mulut meringis. Padahal An-Nasa’i merelakan nyawanya demi kecintaannya. Sama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal yang bersedia dipukuli penguasa. Sama seperti Imam Syafi’i yang konon adalah imam kaum muslim Indonesia, sebab mayoritas umat Islam Indonesia bermadzab Syafi’iyah meskipun kadang masih mencela orang yang melaksanakan qaul (pendapat hasil ijtihad) Imam Syafi’i. Dan kita tahu, mereka semua adalah ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Ah, sudahlah. Dengan rasa malu atau tidak sama sekali, kita harus mengakui betapa jauhnya kita dari orang-orang terdahlu. Sangat jauh.
Meskipun demikian, masih ada yang dapat kita ambil. Kita dapat melihat kembali sebagian kecil teladan Fathimatuz Zahra sehingga mempunyai keturunan yang mulia sampai generasi-generasi yang jauh sesudahnya, termasuk Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani maupun Sayyid ‘Abdullah Haddad.
Keteladanan Fathimatuz Zahra mencakup kedekatan kepada Allah, kuatnya dalam menegakkan shalat malam, khusyuknya dalam berzikir, kesetiaannya yang sangat luar biasa kepada suami, serta kuatnya kecintaan dan perhatian kepada anak-anaknya. Hari ini, insya-Allah kita akan mencoba melihat bagaimana Fathimah Az-Zahra mendidik dan membesarkan putra-putrinya. Sedangkan keteladanan lain, silakan periksa sendiri. Tentu saja, membicarakan Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai suaminya ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah dan ayahnya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kepada anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan, keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain.
Imam Nawawi al-Bantani (Al-Jawi) pernah menuliskan keagungan Fathimah Az-Zahra ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami-istri. Berikut ini saya kutip dari Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al-Bantani.
Suatu hari Rasulullah Saw. Menjenguk Az-Zahra. Ketika itu ia sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.
“Kenapa menangis, Fathimah?” Tanya Rasulullah, “Mudah-mudahan Allah tidak membuatmu menangis lagi.”
“Ayah,” Fathimah menjawab, “aku menangis hanya karena batu penggiling ini, dan lagi aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”
Rasulullah kemudian mengambil tempat duduk di sisinya, kata Abu Hurairah. Fathimah berkata, “Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada ‘Ali supaya membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah.”
Setelah mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam biji-bijian gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca bismillahir rahmanir rahim maka berputarlah alat penggiling itu atas ijin Allah. Beliau terus memasukkan biji-bijian itu sementara alat penggiling terus berputar sendiri, sambil memuji Allah dengan bahasa yang tidak dipahami manusia. Ini terus berjalan sampai biji-bijian itu habis.
Rasulullah Saw. berkata kepada alat penggiling itu, “Berhentilah atas ijin Allah. Seketika alat pengiling pun berhenti. Beliau berkata sambil mengutip ayat Al-Qur’an, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu mengerjakan segala yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Merasa takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu bisa berbicara atas ijin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih. Batu itu berkata, “Ya, Rasulallah. Demi Dzat yang Mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau perintahkan aku untuk menggiling biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur dan Barat, pastilah akan kugiling semuanya.”
Dan aku mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Hai Batu, bergembiralah kamu. sesungguhnya kamu termasuk batu yang kelak dipergunakan untuk membangun gedung Fathimah di surga.”
Seketika itu, batu penggiling itu bergembira dan berhenti.
Nabi Saw. bersabda kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra, “Kalau Allah berkehendak, hai Fathimah, pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus keburukan-keburukanmu, serta mengangkat derajatmu.
Hai Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperoleh kebajikan dari setiap butir biji yang tergiling, dan menghapus keburukannya, serta mengangkat derajatnya.
Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah menjauhkan antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.
Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisirkan rambut dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu orang yang sedang kelaparan dan seperti orang yang memberi pakaian seribu orang yang telanjang.
Hai Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk minum dari telaga Kautsar pada hari kiamat.
Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan mendoakan dirimu. Bukankah engkau mengerti, Hai Fathimah, bahwa ridha suami itu bagian dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.
Hai Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat memohon ampun untuknya, setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu kebajikan, dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit (menjelang melahirkan) maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apabila telah melahirkan, dirinya terbebas dari dosa seperti keadaannya setelah dilahirkan ibunya.
Hai Fathimah, setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, maka dirinya terbebas dari dosa-dosanya seperti pada hari dirinya dilahirkan ibunya. Ia tidak keluar dari dunia (yakni mati) kecuali tanpa membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga. Allah memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga hari kiamat.
Setiap istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai hati yang baik, ikhlas, dan niat yang benar, maka Allah akan mengampuni dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya diberi pakaian berwarna hijau, dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhnya dengan seribu kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus pahala orang yang berhaji dan berumrah.
Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.
Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari langit. ‘Hai wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang.
Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya, demikian pula jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka kelak Allah akan memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih yang tersegel) dan dari sungai yang ada di surga. Bahkan kelak Allah akan meringankan beban sakaratul maut. Kelak ia akan menjumpai kuburnya bagaikan taman surga. Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah melewati sirath (titian).
Mihrab Agung Orang-orangTercinta Lima orang anak yang dikaruniakan Allah Swt. Kepada Az-Zahra, yaitu Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhsin –yang meninggal keguguran ketika masih berupa janin dalam rahim sucinya. Ummu Kultsum kelak dinikahi oleh Umar bin Khaththab karena keinginan Umar yang kuat untuk bersambung ikatan darah dengan Rasulullah.
Fathimah Az-Zahra mendidik sendiri dua putra dan dua putri yang diamanahkan Allah Swt. kepadanya. Ia susui anak-anaknya dengan air susunya sendiri. Ia rawat anak-anaknya dengan tangannya sendiri.
Ia memilih untuk mendekap anaknya sendiri, meskipun kepayahan bekerja dan ada orang yang mau menggantikan, karena ibulah yang bisa menyayangi anaknya, bukan orang lain –termasuk baby-sitter. Padahal sekarang ibu-ibu muda kadang memilih untuk bisa makan dengan tenang dan enak, sedangkan menggendong anak biar dikerjakan oleh baby-sitter.
Mari kita dengarkan cerita dari Bilal, muadzin Rasulullah:
“Saya melewati Fathimah yang sedang menggiling,” kata Bilal, “sementara anaknya menangis.”
“Saya berkata kepadanya,” kata Bilal melanjutkan. “Jika engkau mau, biar aku yang memegang gilingan dan engkau memegang anak itu. Atau, aku yang memegang anak itu dan engkau memegang gilingan.”
Ia berkata, “Aku lebih dapat mengasihi anakku daripada engkau.”
Sebagaimana istrinya, Sayyidina Ali juga menolak orang membawakan makanan yang akan diberikan kepada anaknya (masyaAllah, betapa hati-hatinya beliau menjaga kebarakahan). Shalih, seorang pedagang pakaian pernah mendapat cerita dari neneknya, “Saya melihat Ali karamallahu wajhahu membeli kurma dengan harga satu dirham, lalu beliau membawanya dibungkus selimut. Saya berkata kepadanya atau seseorang berkata kepadanya, ‘Saya yang akan membawanya, wahai Amirul Mukminin.’ Beliau berkata, ‘Jangan! Kepala keluarga lebih berhak membawanya.’”
Kisah ini disampaikan oleh Imam Bukhari. Jabatan Imam Ali saat itu adalah khalifah, Amirul Mukminin. Pada masa sekarang, jabatan itu lebih tinggi daripada presiden atau raja sebuah negara, sebab kekuasaannya meliputi negeri-negeri lain. Tetapi untuk membawakan makanan anak, Amirul Mukminin tidak mau menyerahkan kepada orang lain.
Jabir Al-Anshari menceritakan bahwa Nabi melihat Fathimah sedang menggiling dengan kedua tangannya sambil menyusui anaknya. Maka mengalirlah airmata Rasulullah.
“Anakku,” katanya, ”engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.”
Fathimah mengatakan, “Ya Rasulallah, segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya, dan pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas karunia-Nya.”
Lalu Allah menurunkan ayat, “Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberimu karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Kepada anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan, keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain sejauh ia berdiri di atas kebenaran. Sehingga kita mendapati, dalam situasi yang penuh ketakutan dan leher sewaktu-waktu bisa terputus, Zainab masih bisa menghadap Ibnu Ziyad dengan penuh ketegaran. Kesedihan yang teramat sangat ketika hampir semua saudara, kemenakan, sanak-kerabat, dan sahabat menjadi mayat berserakan, tidak membuatnya kehilangan keberanian dan ketegaran untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Mengatakan kebernaran.
Ketika Ibnu Ziyad menghina Zainab dengan perkataan, “Puji Tuhan yang telah mempermalukan dan menyingkap dusta kalian. Puji Tuhan yang telah mengobati rasa dendam dan kesumatku kepada saudaramu.”; Zainab menjawab dengan tegar, tanpa rasa takut. “Puji Tuhan yang telah menganugerahi kami keutamaan syahadah. Puji Tuhan yang telah menetapkan kenabian pada keluarga kami. Kekalahan dan kenistaan adalah milik kalian wahai orang-orang zalim dan fasik. Syahadah adalah kebanggaan, bukan kenistaan. Orang-orang zalimlah yang suka berbohong, bukan kami. Kami ahli hakikat. Semoga Tuhan mencabut nyawamu, wahai anak marjanah!”
Ibnu Ziyad dan orang-orang yang hadir kaget mendengar kata “marjanah”, wanita lacur. Ibnu Ziyad sangat tertampar dengan kata itu, sehingga ia berkata, “sudah begini kalian masih berani angkat suara.”
Ibnu Ziyad mengambil kesempatan bicara dengan ‘Ali Ausath, kelak dikenal dengan gelar ‘Ali Zainal ’Abidin. Dia pun memberi jawaban yang tak kalah pedasnya dengan Zainab, padahal dia masih sangat kecil (bandingkan dengan anak TPG/TPA sekarang). Kemudian Ibnu Ziyad memanggil algojo, tukang jagal manusia, untuk memotong kepala ‘Ali Zainal ’Abidin. Tiba-tiba Zainab bangkit dan memeluk ‘Ali Zainal ’Abidin dengan erat sambil mengatakan, “Demi Allah, lehernya tidak akan terpenggal sebelum kalian penggal leherku terlebih dulu.”
Ibnu Ziyad memandang Zainab dengan heran dan berkata, “Alangkah kuatnya rahim mempererat mereka.”
Inilah Zainab, hasil didikan madrasah suci bernama Fathimatuz Zahra. Semenjak kecil mereka dididik oleh ibu yang sangat kuat kasih sayangnya. Dari Az-Zahra juga, mereka belajar pengorbanan.
Mereka belajar banyak tentang pengorbanan dari ibu mereka, Fathimah Az-Zahra, dan ayah mereka, ‘Ali karamallahu wajhahu. Ada kisah pengorbanan mereka yang kemudian menjadi sebab turunnya surat Al-Insaan (76) ayat 8-9.
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mendapat ridha Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insaan:8-9).
Ketika itu Hasan dan Husain sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah ditemani oleh beberapa sahabat, datang menjenguk mereka. Rasulullah menyarankan kepada ‘Ali untuk mengucapkan janji (bernazar) kepada mereka itu. Semua anggota keluarga, termasuk Fathimah, ‘Ali dan Fazzah, pembantu mereka, mengucapkan janji kepada Allah untuk menjalankan puasa selama tiga hari bila putra-putra ‘Ali sembuh dari sakit.
Ketika mereka sembuh, puasa pun dimulai. Tetapi mereka tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. ‘Ali kemudian meminjam tiga sha’ gandum dari seorang Yahudi di Khaibar bernama Syam’un. Fathimah memegang lima keping roti dengan sepertiga bagian gandum itu dan meletakkan di atas meja makan saat berbuka puasa. Pada saat hendak berbuka puasa, seorang pengemis mengetuk pintu dan meminta makanan sambil berkata, “Tolonglah aku, semoga Allah memberimu makan dengan makanan surga.” Keluarga itu pun memberikan makanan mereka dan berbuka hanya dengan air.
Hari berikutnya mereka masih berpuasa. Sekali lagi lima keping roti dipersiapkan. Kini, seorang anak yatim mengetuk pintu untuk meminta makanan. Keluarga itu sekali lagi memberikan makanan mereka kepada anak yatim itu. Pada hari ketiga datang tawanan menjelang saat berbuka. Mereka melakukan hal yang sama.
Pada hari ketiga, ‘Ali membawa anak-anaknya ke rumah Rasulullah. Melihat keadaan cucu-cucunya, beliau menjadi sedih dan berkata, “betapa susah bagiku melihat kalian dalam keadaan yang sulit ini.”
Lalu beliau mengajak mereka kembali ke rumah Fathimah. Ketika tiba di sana, Fathimah sedang berdo’a, sementara kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan lemah dan matanya begitu sayu.
Melihat ini, Rasulullah Saw. menjadi bertambah sedih. Pada waktu itu, malaikat Jibril datang kepada beliau dan mengatakan, “Terimalah hadiah dari Allah ini. Allah mengirimkan ucapan selamat bagimu karena memiliki keluarga yang begitu mulia.”
Lalu Jibril membacakan kepada Rasulullah surat Al-Insaan (Hal Ata). Inilah Fathimah, ibu yang mendidik anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan luar biasa itu. Ia menanamkan ke dada anak tauhid dan kesediaan untuk berdarah-darah.
Fathimah, kata Soraya Maknun, mendidik seorang anak perempuan seperti Zainab seorang wanita yang terpelajar, bijaksana dan terhormat, yang kata-katanya dapat menenangkan saudaranya yang tak berdosa pada saat-saat kritis di senja bulan Asyura’ (Muharram). Inilah wanita yang emosinya sangat matang.
Kisah Fathimah Az-Zahra akan lebih panjang lagi kalau diteruskan. Dan makalah ini tidak cukup untuk menuliskan. Oleh karena itu, kita sudahi dulu. Sebagai penutup, saya sampaikan kisah singkat Hasan dan Husain, kata Abu Hurairah, bergulat. Lalu Rasulullah Saw. berkata, “Ayo Hasan!”
Maka Fathimah mengatakan, “Wahai Rasulullah, engkau mengatakan ‘ayo Hasan’, padahal dia lebih besar.”
Maka Rasulullah menjawab, “Aku mengatakan ‘Ayo Hasan’ dan malaikat Jibril mengatakan ‘Ayo Husain.”
Sambil bermain-main dengan Hasan, Fathimah mengajarkan kepada anaknya dengan mengatakan:
Jadilah seperti ayahmu, wahai Hasan Lepaskan tali kendali yang membelenggu kebenaran Sembahlah Tuhan yang memiliki anugerah Janganlah kau bantu orang yang memiliki dendam
Saya tidak tahu apakah kita bisa meneladani Fathimatuz Zahra, sedangkan tingkatan kita masih seperti ini. Jauh sekali.
Tetapi saya berharap pembicaraan ini ada manfaatnya. Setidaknya mengajari kita rasa malu, untuk tahu diri. Kalau kita sudah merasa berkorban dan berjasa, sebandingkah dengan pengorbanan Az-Zahra dan keluarganya?
Satu hal, tulisan ini adalah do’a. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang penuh barakah dan Allah mengaruniakan kepada mereka barakah, sampai yaumil-qiyamah. Semoga Allah mengaruniakan pada kita keluarga yang penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah kepada kita.
Mudah-mudahan kita yang hadir saat ini dikumpulkan bersama Rasulullah Muhammad Saw di Al-Haudh. Amiin Allahumma Amin.
Wallahu A’lam Bishshawab.
oleh Fei Muhammad Asysyafi'ie dalam facebook.com/muhammad.bsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar