Selasa, 26 April 2011

Menyikapi Munculnya Berbagai Gerakan / Jaringan Dalam Kemajemukan Masyarakat Modern



Oleh : Gus Anam*

Pendahuluan

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله هادي الأمة إلى سبيل السعادة الأبدية سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أولي النجابة. وبعد

Ketika Rosululloh SAW menyatakan “umatku akan mengalami perpecahan menjadi 73 golongan”, sebetulnya Beliau sedang mengeluarkan sebuah warning terhadap umatnya sepeninggal Beliau untuk selalu menapaki jalan lurus yang telah di lalui oleh Beliau dan para Sahabatnya yang akan mengantarkan ke gerbang Surga. Fakta sejarah kemudian membenarkan hadits shohih di atas yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang agaknya kurang menarik bagi sebagian orang. Seperti selalu di ulang-ulang oleh para sejarawan, bahwa pada paruh abad pertama hijriyyah telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam.
Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah di inginkan oleh mereka sendiri, di mana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, di kenal dengan sebutan fitnah kubro “cobaan besar”. Perkembangan.
Kedua adalah masuknya bangsa Persi dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing.
Dengan kedua perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan theologis yang sebagian darinya berangkat dari persoalan politik pasca Rosul. Di mulai dari kebijakan-kebijakan politik Utsman RA, yang berujung kepada terbunuhnya Beliau, pengangkatan Ali sebagai kholifah yang mendapat tantangan sangat keras dari Mu’awiyyah Gubernur Damaskus dan kontak fisik yang berakibat jatuhnya banyak korban dan banyak hal yang tragis dan menyedihkan.


Pesoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik di atas inilah yang akhirnya membawa pada timbulnya persoalan-persoalan theologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khowarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyyah, Umar ibnu Al Ash, Abu musa Al Asy’ari, dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena Al Qur’an menyatakan :


ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون

Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. keempat pemuka Islam di atas telah di pandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu menilai mereka harus di bunuh. Maka kaum khowarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang di bebani membunuh Ali bin Abi Tholib yang berhasil dalam tugasnya.

Lambat laun kaum khowarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang di pandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu Murtakib al kabair juga di pandang kafir.

Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan theologi selanjutnya dalam Islam. Persoalanya ialah masihkah ia bisa di pandang orang mu’min atau ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?.

Persoalan ini menimbulakan tiga aliran theologi dalam Islam. Pertama, aliran khowarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad oleh karena itu ia wajib di bunuh. Aliran kedua, ialah murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mu’min dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang di lakukanya, terserah kepada Alloh SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Kaum mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mu’min. orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mu’min dan kafir yang terkenal dengan istilah : Al-Manzilah Bainal-Manzilatain. Dalam pada itu timbul pula dua aliran dalam theologi yang terkenal dengan nama : Al-Qodariyyah dan Al-Jabariyyah. Menurut Al-Qodariyyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatanya dalam istilah inggrisnya Free Will dan Free Act. Al-Jabariyyah, sebalikny berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatanya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut faham Jabariyyah bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia di tentukan oleh Tuhan. Faham inilah yang di sebut faham perdisnuation atau fatalism.

Selanjutnya, kaum mu’tazilah dengan di terjemahkanya buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yunani ke dalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan yunani klasik. Pemakaian rasio atau akal ini di bawa oleh kaum mu’tazilah ke dalam lapangan theologi Islam dan dengan demikian theologi mereka mengambil corak theologi liberal yang cenderung mengunggulkan otoritas “akal” (nalar) atas “naqli”, suatu pendirian yang oleh mayoritas muslim di pandang sangat membahayakan keutuhan doktrin. Tak pelak, aliran mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam terutama golongan Hanabilah (pengikut-pengikut madzhab ibnu Hanbal).

Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran theologi tradisional yang disusun oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M.). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazily, tetapi menurut riwayat setelah beliau melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran-ajaran yang sesat, Al Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal dangan theologi Al Asy’ariyyah.
Disamping aliran Asy’ariyyah, di Samarkand muncul pula suatu aliran yang bermaksud menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Manshur Al Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama Al Maturidiyyah.

Selain dari Abu Al Hasan Asy’ari dan Abu Manshur Al Maturidi ada lagi seorang theolog dari Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Theolog ini bernama Al Tohawi (w. 933 M) dan sebagaimana halnya dengan Al Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah (Imam dari Hanafi dalam lapangan hukum Islam). Tetapi ajaran-ajaran Al Tohawi tidak menjelma sebagai aliran theologi dalam Islam.

Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khowarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Al Maturidiyyah dan jangan dilupakan aliran Syi’ah yang sebenarnya pada awalnya sebagaimana halnya khowarij lebih tepat disebut sebagai madzhab politik daripada madzhab theologi, yang justru sekarang sudah mulai mewabah di Indonesia. Aliran-aliran khowarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariyyah, Maturidiyyah keduanya disebut Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan Syi’ah ditambah yang hadir belakangan Wahabiyyah, Ahmadiyyah, dan Baha’iyyah.

Dengan masuknya kembali paham rasioanalisme kedunia Islam yang kalau dahulu masuknya itu melalui kebudayaan Yunani Klasik, akan tetapi sekarang melalui kebudayaan barat modern maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan kaum intelektual Islam yang mendapat pendidikan barat. Kata neo-mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam. Sebetulnya kalau agak cermat mengamati fenomena banyaknya ragam kelompok yang mengatasnamakan Islam dewasa ini di dunia Islam, kita, meski secara samar bisa menangkap benang merah atau pertalian nasab teologis antara sebagian kelompok-kelompok yang dewasa ini dengan kelompok-kelompok tersebut diatas atau paling tidak ada kesamaan dalam pola-pola tertentu.
 
FIRQOH-FIRQOH HADITSAH.

Berbarengan dengan hadirnya era reformasi pasca kejatuhan rezim soeharto, jagad Indonesia dipusingkan oleh hiruk-piruk partai-partai yang serentak bermunculan dengan berbagai simbul, kemasan, dan ideologinya masing-masing termasuk ikut meramaikan panggung sejarah Indonesia semaraknya gerakan da’wah, front-font, dan laskar yang seakan-akan muncul sangat tiba-tiba dan membesar begitu saja, mencengangkan dan teramat fenomenal. Kita menjadi sering menyaksikan orang-orang berjubah, bersurban putih, berjenggot, juga wanita bercadar ering muncul dalam tayangan media elektronik juga berita-beritanyan menghiasi banyak mass media. Aktivitas mereka menampakkan mobilitas yang teramat tingi, terorganisir dan merambah banyak sektor. Orang-orang kemudian dengan tiba-tiba mengenal dan mendengar nama-nama seperti jama’ah tabligh, laskar jihad, jama’ah salafi, jama’ah Al muslimin (Jamus), Hizbut Tahrir, FPI dan yang lain-lain. Yang menarik secara lahiriyah mereka sering tampil justru lebih islami, lebih khusyu’ dan lebih berkomitmen kepada islam dari kelompok yang muncul dan besar lebih awal ( baca : NU dan Muhammadiyyah) yang ironisnya sering nampak mengendur dalam memegangi hal-hal yang prinsipil, disisi lain juga muncul mainstream yang sangat menggelisahkan nurani kita seperti keberadaan JIL, Islam Paramadina dan apa yang disebut sebagai kiri islam belum lagi jaringan LKIS-nya Mas Imam Aziz dengan tulisan dan terjemahan-terjemahan yang suka menggoncang المقدسات الدينية tak pelak banyak orang dibuat bertanya-tanya siapakah sebetulnya mereka ? samakah mereka dengan kita (In Group) ? ahlussunnah-kah ? dan banyak pertanyaan yang lain.

Dalam kontek inilah, penulis dengan segala keterbatasannya secara sekilas mengulas untuk didiskusikan dan mencari sikap yang arif terhadap fenomena diatas ketika kita umat islam dipelbagai belahan dunia termasuk indonesia masih saja belum bisa menjadi Al faa’il Al haqiqi dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat islam masih sering menjadi maf’ul dan orang-orang yang asing justru seperti dirumah sendiri.

A. Jama’ah Tabligh

Di dirikan oleh seorang Ulama besar yaitu Syeikh Muhammad Ilyas (1303 H). Berawal dari keperihatiannya yang mendalam terhadap gerakan riddah dan kembali pada ajaran agama “الأباء” agama berhala, brahmaisme. Hal yang memang mendapat sokongan dari pemerintah kolonoal Inggris dengan cara memberi kebebasan untuk memeluk agama apapun dan menegakkan gerakan-gerakan yang melemahkan Islam, serta menghidupkan kembali tradisi dan budaya hindu. Membaca tulisan Al-Nadawi kita mengetahui betapa pembangun jama’ah tabligh adalah seorang mujaddid, pembaharu yang di turunkam Alloh SWT untuk membawa misi Islah, penyegaran dan revivalisme. Ia adalah seorang Alim besar mujaddid, sunni pelaku thorikat dengan pola hidup yang mengingatkan saya pada pola hidup salafussholih. Coba simak tulisan Al-Nadawi di bawah ini:


وكان كثير العبادة مشغولا بخاصة نفسه وكان موضع احترام بين المشيايخ والعلماء يعتبرون بتقواه وورعه والعنابة إلى الله واشتغل مدرسا فى مدرسة مظاهر العلوم بمدينتين سهارن نور التي تمتاز بالامتناع الزائد بعلم الحديث وتخريج الدعاة إلى الله والقائمين بالدعوة الدينية الشعبية والمشتغلين بتدريس الحديث الشريف.

Masih menurut Al-Nadawi. Pembangunan jama’ah tabligh adalah

رجل نحيل نحيف تشف عيناه عن ذكاء مفرط وهمة عالية على وجهه فحايل الهم وتفقير والجهد الشديد الى أن قال رأيته فى حالة عجيبة فة التألم والتوجع والقلق الدائم كأنه على حسك السعدان يتململ تململ السليم وتيفس السعداء لما يرى من الغفلة عن مقصد الحياة وعن غاية هذا الغر العظيم. رفقته فى السفر والحضر فرأيت نواحى من الحياة لم تنكشف لى من قبل، فمن أغرب ما رأيت: يقينه الذى استطعت به أن أفهم يقين الصحابةفكان يؤمن بما جاءت به الرسول ايمانا يختلف عن ايماننا اختلافا واضحا كاختلاف الصورة والحقيقة ايمانا بحقائق الإسلام اشد وارسخ فى ايماننا بالمادياة وبتجارب حياتنا الى أن قال: وكأنه يرى الجنة والنار رأي العين.

Barang kali nama besar Al-Nadawi sebagai tokoh islam kaliber dunia yang mendapat kepercayaan dari berbagai kelompok Islam di duni Islam yang demikian terkagum-kagum kepada Syeikh Ilyas. Sedikit banyak menyiratkan semacam jaminan bahwa jama’ah tabligh secara esensial sebetulnya tidak menyalahi doktrin Ahlissunnah Wal jama’ah. Saya teringat Al-Buthi Ulama sunni terkemuka dari Syiriya menyebutkan dalam salah satu ceramahnya bahwa:



جماعة التبليغ احسن الجماعة الإسلامية فى العالم الإسلامى

Ada sederet nama-nama tokoh jama’ah atau paling tidak pendukung yang semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa jamaah tabligh bukanlah aliran sesat, seperti Syeikh Yusuf penulis Hayat Al shohabah, Syeikh Zakariya Al-Kandahlawi penulis Anjazul Masalik yang merupakan komentar atas kitab Al Muwattho’ (dialah yang menulis buku pegangan jamaah yaitu Fadloilul A’mal) dan Syeikh Muhammad yusuf Al-Binnawi penulis syarah sunan Tirmidzi. Kedua Ulama ini tercatat sebagai guru Syeikh Yasin Al-Fadani da hampir semua Masyayikh jam’iyyah Dyuban India adalah pengikut dan pendukung jama’ah tabligh.

Pada akhirnya saya harus berterus terang bahwa saya kurang tertarik dan agak ragu terhadap tulisan seorang penulis yang di terbitkan oleh penerbit Turkey yang sangat terdensius dan teramat mendiskriditkan jama’ah tabligh.

B. Jamaah Salafi

Abu Zahro menulis bahwa kelompok yang menamakan dirinya sebagai Assalafiyyun muncul pada abad IV H. dan kemudian di bangun kembali oleh ibnu Taimiyyah pada abad VII H dengan persoalan tambahan dari dia sendiri . selanjutnya pada abad 18 M di padang pasir Arab muncul seorang figur bernama Abdul wahab mengibarkan kembali panji – panji yang pernah di kibarkan oleh Ibnu Taymiyyah . Secara umum dapat saya sebutkan persoalan – persoalan yang menjadi trade mark kelompok Salafiyyah sebagai berikut :
  • Sangat skripturalis
  • Ayat – ayat sifat dan mutasyabih
  • Pemberantasan hal – hal yang di anggap TBC
  • Gampang mengkafirkan orang yang tidak sepaham
  • Beranggapan pendapat kelompoknya tidak mungkin salah sedangkan paham orang lain tidak mungkin benar .
  • Permusuhan yang sangat keras terhadap Asy’ariyah dan tariqat sufiyyah .

Tokoh-Tokoh Salafi

Di antara tokoh salafi yang sering disebut adalah Nashiruddin Al Bani, Sholeh ‘Utsaimin, Muqbil dan untuk Indonesia adalah Ja’far Thalib, Panglima Laskar Jihad.

PENUTUP

Pada akhirnya saya ingin mengajak teman-teman untuk memahami betul cerita Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Al Buthi :
    • الالتزام بالنصوص الشرعية
    • الالتزام بقواعد تفسير النصوص
    • الالتزام بقواعد وقوانين اللغة العربية
    • الالتزام بموازين المنطق السليم

Demikianlah yang bisa saya sampaikan dalam diskusi kali ini dengan harapan semoga kita tergolong Firqoh Annajiyyah pengikut ahlussunnah wal jama’ah. Wassalam

KEPUSTAKAAN

Tarikhul Madzahib Al Islamy Dr. Abu Zahroh
  • Assalafiyyah Dr. Al Buthy
  • Kasyfusyubuhat ‘an Jama’ah At tabligh Syeikh Maulawi
  • Asyakhshiyyat wal Kutub Abu Hasan Al Nadawi
  • Al Madkhol ilal Ilmi al Hakim

*Makalah ini direpresentasikan oleh KH. Zuhrul Anam Hisyam Pengasuh pondok pesantren Attaujieh Al – Islamy Banyumas, Purwokerto pada acara kuliyah jum’at di Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah pada tanggal 23 Agustus 2002 M.

Tulisan Terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar