Selasa, 14 Desember 2010

Menyoal Kisah Romantis Yusuf dan Zulaikha

Menyoal Kisah Romantis Yusuf dan Zulaikha
Oleh: Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub
Dalam al-Qur’an Surah Yusuf, Allah Swt. berfirman:
“Wa qaala alladzi isytaraahuu min mishra li imra’atihii akrimii maswaahu ‘asaa an yanfa’anaa aw nattakhidzahuu waladan wa kadzaalika makkannaa liyuusufa fi al-ardhi walinu’allimahuu min ta’wiili al-ahaaditsi wa allahu ghaalibun ‘ala amrihii walakinna aktsara al-naasi laa ya’lamuuna”.
(Yusuf; 21)

“Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 21).

Di seputar ayat ini, kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha kemudian timbul di kalangan mufassirin. Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al-Qur’an yang ditunjuk oleh Departemen Agama Republik Indonesia (DEPAG-RI) dalam al-Qur’an dan Terjemahnya, memberikan penafsiran ayat tersebut. Ketika terjemah ayat tersebut menuturkan: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya”, dalam footnote (no. 748), Tim menulis: “Orang Mesir yang membeli Yusuf As. itu seorang Raja Mesir bernama Qithfir dan nama isterinya Zulaikha.” Tidak sampai di situ, lebih jauh lagi nama Zulaikha tersebut langsung dicantumkan di dalam terjemah ayatnya. Hal ini dapat kita lihat pada terjemah Surah Yusuf ayat 23: “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya….”. Begitu pula dalam footnote (no. 750) yang menafsiri ayat tersebut. “Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf As. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu Zulaikha….”. Demikian nama Zulaikha disinggung sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an dan Terjemahnya yang dicetak dan disebarluaskan oleh DEPAG-RI. Usaha penerjemahan itu dilangsungkan selama delapan tahun oleh tim khusus yang diketuai oleh Prof. R.H. A. Soenarjo, S.H dari Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al-Qur’an. Selesai pada tahun 1971.

Dengan demikian, tersebarnya Al Qur’an dan Terjemahnya versi DEPAG-RI kala itu, diawali keterangan para ulama yang menukil kisah itu dari kitab-kitab tafsir klasik, akhirnya penamaan Zulaikha tersebut melembaga di masyarakat. Mereka tidak tahu menahu tentang otentisitas riwayat seputar itu. Yang mereka kenal, bahkan sudah menjadi keyakinan, Zulaikha itu adalah nama wanita yang merayu Nabi Yusuf As. Kemudian setelah Nabi Yusuf As diangkat menjadi pembesar Mesir, Zulaikha dinikahi oleh beliau. Mereka berdua hidup seia-sekata, saling mengasihi dan menyayangi. Menurut mereka, itulah dambaan setiap keluarga dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Maka tak heran jika tipologi Yusuf-Zulaikha, oleh mereka, disamakan dengan tipologi Adam-Hawa, Muhammad-Khadijah, dan Ali-Fatimah. Padahal tidak ada riwayat yang shahih menerangkan bahwa istri al-Aziz itu bernama Zulaikha dan Nabi Yusuf pernah menikahinya. Karenanya, ada kawan berseloroh bahwa orang yang berdoa agar kedua mempelai itu saling sayang-menyayangi seperti Yusuf dan Zulaikha, maka hal itu sama saja dengan mendoakan agar seseorang itu menyayangi istri orang lain, alias berselingkuh.

Menyikapi Tafsir Isra`iliyyat
 

Agama Islam datang setelah Agama Yahudi dan Nashrani. Begitu pula pengikutnya. Kaum Yahudi dan Nashrani memiliki dasar-dasar pengetahuan agama yang diperolehnya dari kitab suci mereka, Taurat untuk Yahudi dan Injil untuk Nashrani, sebelum mereka akhirnya memeluk Islam. Bahkan, khusus mengenai cerita para nabi dan umat terdahulu, mereka memiliki data-data yang sangat rinci. Maka tidak heran, ketika al-Qur’an menuturkan cerita-cerita tersebut, mereka langsung memberikan responnya berdasarkan kitab suci mereka dengan sangat mendetail.

Memang al-Qur’an bukan kitab sejarah. Tetapi al-Qur’an memuat fakta sejarah. Khususnya para nabi dan umat-umat terdahulu. Dari segi penuturannya, menunjukkan bahwa al-Qur’an ingin menunjukkan ke-i’jazan-nya. Sedangkan dari segi isinya, semua itu agar dijadikan pelajaran yang berharga bagi umat manusia yang hidup setelahnya.

Pengikut Islam periode pertama, yaitu masa Rasulullah Saw dan para shahabatnya, menyikapi cerita-cerita mereka dengan sangat hati-hati. Dalam sebuah Hadis shahih dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw bersabda:
 

“Laa tashaddaquu ahla al-kitaabi wa laa tukadzdzibuuhum wa quuluu aamanna bi allahi wa maa unzila ilaina wa maa unzila ilaikum”.

“Kamu jangan membenarkan penuturan Ahl al-Kitab, jangan pula mendustakannya. Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan apa-apa (kitab) yang diturunkan kepada kami dan (kitab-kitab) yang diturunkan kepadamu.”

Sikap kehati-hatian ini diperintahkan oleh Nabi Saw kepada para shahabatnya, sebab di dalam penuturan Ahl al-Kitab mengandung dua kemungkinan, benar dan salah. Tetapi Nabi Saw juga tidak hitam-putih. Bersikap fleksibel dalam masalah ini. Beliau, yang diikuti para shahabatnya, tetap menerima penuturan mereka, sejauh tidak menyangkut akidah dan hukum-hukum syariah. Kebolehan tersebut terbetik dari sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr sebagai berikut:

“Ballighuu ‘anni walaw ayatan wahadditsuu ‘an banii israaiila wa laa haraja, wa man kadzdzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahuu
min alnaari”.


“Sampaikan apa-apa dariku meskipun itu berupa satu ayat. Kamu tidak apa-apa meriwayatkan penuturan Bani Isra`il (Ahl al-Kitab). Siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka bersiaplah dirinya untuk menempati tempatnya di neraka.”

Hadis di atas melukiskan kepada kita bahwa Nabi Saw membolehkan para shahabatnya (baca: umatnya) untuk mengambil tafsir Isra`iliyyat. Tetapi lagi-lagi tetap dengan syarat, tidak boleh berisi riwayat palsu. Jadi harus betul-betul diketahui keshahihannya.

Demikian pula halnya dengan kisah romantis Nabi Yusuf As. dan Zulaikha. Ketika al-Qur’an dalam ayat di muka tadi (Surah Yusuf ayat 21) disinggung, para Ahl al-Kitab pun sibuk menuturkan alur cerita tersebut dengan detail. Nama Zulaikha yang dilansir sebagai istri dari al-Aziz (pejabat tinggi Negeri Mesir saat itu), tersebar luas setelah Ahl al-Kitab menuturkannya. Karenanya, di sini kita perlu hati-hati dalam menyikapinya. Apakah benar seperti itu atau hanya bualan mereka yang tidak ada dasarnya. Atau jangan-jangan riwayat tentang hal itu adalah palsu. Sikap hati-hati seperti inilah yang harus kita lakukan ketika menghadapi kisah tentang Nabi Yusuf dan Zulaikha.

Doa Khas untuk Pengantin
 

Seorang alumnus program doctoral Universitas al-Azhar Cairo menuturkan, “Tatkala upacara pernikahan seorang mahasiswa dari Indonesia dilaksanakan, saat itu dihadiri pula oleh Rektor Universitas al-Azhar, Prof. Dr. Omar Hasyim, dan diakhir acara tersebut tiba saatnya untuk berdoa. Doa dipimpin oleh seorang mahasiswa senior yang sekarang mengabdi di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai dosen tetap. Dengan penuh kekhusyu’an, mahasiswa itu berdoa (dalam bahasa Arab). Setelah bunyi do’a tersebut sampai pada kalimah,

“Alahumma allif baynahumaa kamaa allafta bayna yuusufa wa zulaikha”.

“Ya Allah, semoga Engkau merukunkan kedua mempelai ini sebagaimana Engkau telah merukunkan Nabi Yusuf dan Zulaikha.”

Tiba-tiba Prof. Dr. Omar Hasyim menyuruhnya berhenti. “Cukup, jangan teruskan, lewatlah kalimat tersebut.” Demikian komentarnya. Dari cuplikan cerita tersebut, kita mengetehui seolah-olah penamaan Zulaikha yang disandingkan pada Nabi Yusuf As itu tidak direstui oleh Rektor Universitas al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Omar Hasyim.” Kata alumnus tadi menutup penuturannya.

Tidak hanya sampai di situ, kebanyakan para muballigh, khususnya di Indonesia, ketika diminta mendoakan kedua mempelai, dengan tanpa ragu-ragu, mereka menyertakan nama Zulaikha yang disandingkan dengan Nabi Yusuf dalam doa mereka seperti kutipan doa di atas. Konon, biar kedua mempelai tersebut hidup rukun, mesra, dan bahagia seperti halnya Nabi Yusuf dan Zulaika.
 

Rupanya kisah romantis Nabi Yusuf-Zulaikha ini sudah menjadi keyakinan dalam agama Islam bagi sebagian kalangan, sebagai simbol kemesraan dan kerukunan dalam mengayuh bahtera rumah tangga. Padahal lagi-lagi kita harus waspada. Apakah benar nama istri al-Aziz yang berniat mesum pada Nabi Yusuf itu adalah Zulaikha? Apakah betul Zulaika itu kemudian menjadi istri Nabi Yusuf, sehingga mereka berdua hidup rukun, mesra, dan bahagia?. Jika benar, manakah riwayat yang shahih tentang itu? Jika terbukti salah, berarti kita telah menyandingkan nama yang keliru untuk istri Nabi Yusuf. Hal itu berakibat fatal karena kita telah menganggap Nabi yang mulia itu selalu bersama-sama, hidup rukun, dan berbahagia, bersama Zulaikha, seorang perempuan yang bukan istrinya. Sungguh tuduhan yang menodai gelar “ma’shum” para nabi. Karenanya, di sini, kami memandang perlu untuk menelitinya.

Doa adalah Ibadah
Dalam sebuah Hadis, Nabi Saw bersabda:
“Al-Du’aau huwa al-‘ibaadatu”.

“Do’a adalah ibadah.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Nu’man bin Basyir. Sanadnya shahih. Ada juga yang senada dengan matan Hadis tersebut, tetapi sanadnya tidak shahih. Yaitu Hadis dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:

“Al Du’aau mukhkhu al-‘ibaadati”.
“Do’a merupakan inti ibadah.”

Hadis yang kedua ini lebih populer di masyarakat. Padahal, sebagaimana yang diutarakan oleh al-Imam al-Mubarakfuri (w. 1353 H) dalam kitabnya Tuhfah al-Ahwadzi, Hadis ini dinilai dhaif oleh Yahya bin Sa’id dan lainnya. Di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah. Kami sengaja mengetengahkan Hadis kedua ini, agar masyarakat luas mengetahui kualitasnya.

Terlepas dari itu semua, doa memiliki nilai ibadah. Karenanya, banyak kalangan ulama yang memimpin doa bersama. Baik dalam bentuk istighatasah maupun acara resmi kenegaraan. Memang doa-lah yang didefinisikan oleh Nabi Saw sebagai “inti” ibadah, satu-satunya media vertikal berisi permohonan hamba pada Tuhannya. Beragam doa yang dipanjatkan kepada-Nya disesuikan dengan kebutuhan masing-masing manusia. Semuanya niscaya didengar oleh-Nya. Dia-lah Yang Maha Mendengar, dekat, dan mengabulkan hamba-hamba-Nya.
 

Ibadah, yang tercerabut dari akar kata ‘abida ya’bud ‘ibadah, bermakna penghambaan, yaitu penghambaan sang makhluk kepada Khalik-nya. Ibadah tersebut harus berdasarkan dalil-dalil yang benar dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’, maupun Qiyas. Jika suatu ibadah tidak berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka nilainya adalah bid’ah. Dalam suatu Qa’idah Fiqhiyyah disebutkan:

“Al-Ashlu fi al-‘ibadati haraamun, wa al-ashlu fi al-mu’amalati mubaahun”.
“Dasar hukum ibadah itu haram. Sedangkan dasar hukum mu’amalah adalah mubah (boleh).”

Dari kaidah tersebut, suatu ibadah itu dilarang kecuali ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya. Dengan demikian, ibadah yang harus kita laksanakan itu adalah hanya ibadah yang memiliki dasar yang benar dari dalil-dalil syara`, baik dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’, maupun Qiyas. Selain itu harus dijauhi, sebab ia termasuk bid’ah.

Kembali pada kisah romantis Nabi Yusuf dan Zulaikha yang sudah telanjur diyakini sebagai suatu kebenaran, yang kemudian kedua nama tersebut dibubuhkan dalam doa pengantin demi terjalinnya kerukukan dan kebersamaan diantara kedua mempelai, apakah termasuk ibadah atau bukan?. Jika kita merujuk kepada Hadis di atas, tentu kita akan mengategorikan keyakinan tersebut sebagai ibadah. Sebab dijadikan sebagai doa. Sementara doa merupakan ibadah. Jika demikian, maka penamaan Zulaikha yang disandingkan pada Nabi Yusuf sebagai simbol keharmonisan, cinta kasih, dan kerukunan, itu harus berdasarkan riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan, sebut saja, shahih secara ilmiyah .

Riwayat Seputar Nama Zulaikha
 

Sedikit sekali kitab tafsir yang menuturkan nama Zulaikha sebagai istri al-Aziz dengan metodologi transmisi. Di bawah ini, kami hanya menyebutkan beberapa kitab tafsir yang meriwayatkan kisah tersebut berikut jalur-jalur periwayatannya. Semuanya mengomentari (baca: menafsiri) ayat 21 dari Surah Yusuf yang sudah kami singgung di muka.

Al-Imam Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) dalam kitab tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta`wil Ay al-Qur’an (yang populer dengan Tafsir al-Thabari), menerima penamaan tersebut dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin al-Sa`ib, dari Abu Shalih, dari Ibn ‘Abbas. Tetapi bukan Zulaikha melainkan Ra’il binti Ra’a`il. Sedangkan al-Imam Abu al-Laits al-Samarqandi (w. 375 H), menyebutkan penamaan Zulaikha sebagai istri al-Aziz dalam tafsirnya Bahr al-‘Ulum dengan riwayat yang berasal dari Ibn ‘Abbas. al-Imam Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitabnya al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma`tsur, mengutip penamaan istri al-Aziz itu dari riwayat Ibnu Jarir (w. 310 H) dan Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), dari Muhammad bin Ishaq (w. 150 H). Berdasarkan riwayat ini, namanya bukan Zulaikha, tetapi Ra’il binti Ra’a`il.

Adapun al-Imam al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menuturkan penamaan istri al-Aziz tersebut dengan beberapa riwayat yang berbeda. Nama Ra’il didapatkannya dari riwayat Ibnu Ishaq yang dituturkan oleh al-Mawardi. Sedangkan nama Zulikha tidak disebutkan sumber riwayatnya. “Demikian kedua riwayat tersebut disebutkan oleh al-Tsa’labi dan lainnya,” kata al-Qurtubi menutup perhelatan pendapat seputar penamaan istri al-Aziz. Sedangkan al-Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Azhim, menuturkannya dari Muhammad bin Ishaq bahwa istri al-Aziz itu bernama Ra’il binti Ra’a`il. “Yang lainnya mengatakan,” demikian Ibnu Katsir, “Bahwa nama wanita tersebut adalah Zulaikha.”

Sedangkan al-Imam al-Syaukani (w. 1250 H), dalam kitabnya Fath al-Qadir menyebutkan nama Zulaikha tersebut bersumber dari riwayat Abu al-Syeikh dari Syu’aib al-Juba’i. Adapun nama Ra’il binti Ra’ayil didapatkannya dari riwayat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim dari Muhammad bin Ishaq.

Selain itu ada juga para mufassir yang menuturkan penamaan istri al-Aziz itu, baik dengan Zulaikha atau Ra’il, dalam kitab-kitab tafsir mereka, tetapi tidak menyebutkan sumber periwayatannya. Misalnya al-Imam al-Baghawi (w. 516 H) dalam tafsirnya yaitu Ma’alim al-Tanzil, al-Imam Jalal al-Din al-Mahalli dalam cuplikan kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Karim, yang kemudian masyhur dengan sebutan Tafsir al-Jalalain .

Ada juga mufassir yang hati-hati dalam menyikapi masalah ini. Lihat saja misalnya al-Imam al-Fakhr al-Razi (w. 604 H). Setelah beliau menyajikan menu cerita beraroma isra`iliyyat seputar identitas orang Mesir yang membeli Yusuf berikut istrinya secara mendetail, dengan tegas beliau mengatakan: “Ketahuilah, riwayat-riwayat di atas tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an. Begitu juga Hadis yang shahih tidak ada yang menguatkannya.” Lebih lanjut beliau menjelaskan, “Penafsiran kitab suci al-Qur’an itu tidak disandarkan pada riwayat-riwayat ini. Karenanya, orang yang berakal harus berhati-hati dalam mengambil riwayat tersebut sebelum menceritakannya pada orang lain.” Begitu juga halnya dengan al-Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dalam kitabnya al-Tafsir al-Qayyim. Ketika menafsiri ayat di atas, beliau tidak menyebutkan nama istri al-Aziz tersebut. “Mereka (para ulama yang dijadikan pegangan olehnya) tidak ada yang menyebutkan nama wanita itu. Tetapi mereka hanya menuturkan sifat-sifatnya yang buruk sebagaimana al-Qur’an menuturkannya.”

Hal senada dilontarkan pula oleh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, mufassir kontemporer, dalam kitabnya Tafsir al-Manar. Dia mengatakan bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan secara jelas nama orang Mesir yang membeli Yusuf. Begitu juga nama istrinya. “al-Qur’an itu bukan kitab cerita atau sejarah an sich, melainkan di dalamnya terdapat hikmah, nasihat, pelajaran, dan pendidikan akhlak. Karenanya al-Qur’an hanya menyebut orang Mesir itu dengan al-Aziz. Sebab gelar al-Aziz itu nantinya akan disandang oleh Nabi Yusuf setelah diangkat menjadi kepercayaan raja di Mesir.” Demikian Rasyid Ridha.

Masih banyak lagi komentar-komentar para mufassir yang tersebar dalam beberapa kitab tafsir belum kami jamah. Yang penting, dari keterangan itu, kita mengetahui sanad dari riwayat yang mengatakan bahwa istri al-Aziz itu bernama Zulaikha atau Ra’il. Inilah fokus kajian kita.

Dari kitab-kitab tafsir tersebut, meskipun hanya sebagian kecil saja yang kami suguhkan, ternyata yang menuturkan kisah tersebut dengan sanad yang lengkap adalah al-Imam al-Thabari. Yaitu dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin al-Sa`ib, dari Abu Shalih, dari Ibn ‘Abbas. Dalam riwayat ini istri al-Aziz itu bernama Ra’il binti Ra’ail. Sedangkan riwayat yang menyebutkan bahwa nama istri al-Aziz itu adalah Zulaikha, adalah bersumber dari Syu’aib al-Jaba`i. Masing-masing dari kedua sanad itu lemah sekali, bahkan palsu. Hal itu dapat kita ketahui dari dua orang rawi, yaitu Muhammad bin al-Sa`ib al-Kalbi dalam riwayat yang menyebutkan nama Ra’il binti Ra’ayil, dan Syu’aib al-Jaba`i dalam riwayat yang menuturkan nama Zulaikha. Kedua orang ini biangkeroknya yang telah menjadikan dua riwayat diatas lemah bahkan palsu. Lebih lanjutnya, di bawah ini kami sajikan biografi singkat kedua rawi tersebut berikut komentar para kritikus Hadis tentang kredibilitasnya.

Mengorek Kredibilitas al-Kalbi dan al-Jaba`i.
 

Sebagaimana yang kami sebutkan di atas, riwayat-riwayat tentang penamaan istri al-Aziz itu ternyata bermasalah. Di dalamnya terdapat dua orang rawi, yaitu al-Kalbi dan al-Jaba’i.

Al-Kalbi, yang meriwayatkan nama Ra’il sebagai istri al-Aziz, nama lengkapnya adalah Abu al-Nadhr Muhammad bin al-Sa`ib bin Bisyr al-Kalbi. Seorang mufassir yang terkenal dari generasi tabi’in. Dia berguru pada Abu Shalih, Jarir, al-Farazdaq, dan masih banyak lagi. Sedangkan murid-muridnya diantaranya adalah anaknya sendiri, Hisyam. Dia wafat pada tahun 146 H. al-Dzahabi (w. 748 H) menilai al-Kalbi sebagai seorang Syiah yang Hadisnya matruk.

Dalam kitabnya al-Tarikh al-Kabir, al-Imam al-Bukhari menyatakan bahwa Muhammad bin al-Sa`ib (Abu al-Nadhr) al-Kalbi adalah sosok rawi yang dinilai matruk oleh Yahya bin Sa’id dan Ibnu Mahdi. Sedangkan al-Imam Abu Hatim bin Hibban dalam kitabnya al-Majruhin, menyebut-nyebut al-Kalbi sebagai rawi yang dusta. “Dalam kajian tafsir, al-Kalbi meriwayatkannya dari Abu Shalih, dari Ibnu ‘Abbas. Padahal Abu Shalih belum pernah bertemu dengan Ibnu ‘Abbas. Sedikitpun dia belum pernah mendengar tafsir-tafsir dari Ibnu ‘Abbas. Begitu pula al-Kalbi. Hanya beberapa kalimat saja yang dia dapatkan dari Abu Shalih. Karenanya, semua tafsir yang berasal dari riwayat al-Kalbi tidak boleh dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir. Apalagi untuk dijadikan hujjah,” demikian Abu Hatim bin Hibban.

Menurut al-Imam Abu Hatim, para ulama sepakat bahwa Hadis al-Kalbi dinilai matruk. Tidak perlu direken. Dia adalah seorang Dzahib al-Hadis (yang mengaburkan keshahihan Hadis). al-Nasa`i, lanjut Abu Hatim, menilai al-Kalbi sebagai orang yang tidak tsiqah. “Laa Yuktab Haditsuhu” (Hadis yang diriwayatkannya tidak boleh ditulis). Bahkan dalam kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, al-Imam Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327), menuturkan sebuah riwayat dari Abu Jinad yang mengatakan bahwa Abu Shalih bersumpah untuk tidak mengakui tafsir al-Kalbi yang dinisbatkan kepadanya. “Aku tidak pernah membacakan sedikitpun tafsir dari riwayatku pada al-Kalbi,” demikian Abu Shalih. al-Dhahhak bin Makhlad al-Nabil menuturkan, Sufyan al-Tsauri berkata bahwa al-Kalbi pernah terus terang kepadanya bahwa apa yang dia (al-Kalbi) riwayatkan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas, adalah dusta alias palsu. “Karenanya, kamu jangan meriwayatkannya,” begitu pesan al-Kalbi kepada Sufyan.

Syeikh Dr. Muhammad Husein al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun menuliskan sembilan sanad tafsir Ibnu ‘Abbas. Dari sembilan sanad itu, yang paling parah kelemahannya adalah sanad: Muhammad bin al-Sa`ib al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu ‘Abbas. Begitu pula halnya Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, beliau mengategorikan jalur sanad al-Kalbi dari Abu Shalih sebagai jalur yang paling parah dalam tafsir Ibnu Abbas. Tafsir Ibnu ‘Abbas di mana di dalam sanadnya terdapat nama al-Kalbi ini kemudian dikumpulkan oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) dalam kitab yang dinamai Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. Karenanya tafsir ini dari segi kualitas sanadnya adalah palsu sebagai tafsir Ibnu Abbas. Kendati begitu ada juga beberapa pesantren yang mengajarkan kitab ini kepada santri-santrinya.

Adapun al-Jaba`i, yang meriwayatkan nama Zulaikha sebagai istri al-Aziz, adalah bernama lengkap Syu’aib bin al-Aswad al-Jaba`i. Dia termasuk ahli sejarah dari kalangan tabi’in. al-Imam al-Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal menuturkan pendapat al-Azadi, bahwa Syu’aib al-Jaba`i adalah seorang rawi yang matruk (pendusta). Penilaian al-Azadi ini dikukuhkan juga oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya Lisan al-Mizan.

Berdasarkan disiplin ilmu Hadis, jika ada seorang rawi pendusta dalam sebuah sanad Hadis, maka Hadis tersebut nilainya matruk (jika dia tidak mengakui perbuatan dustanya) atau maudhu (jika dia mengakui perbuatan dustanya). Kedua-duanya dikategorikan sebagai Hadis yang lemah sekali yaitu palsu dan semi palsu. Nabi Saw mengultimatum ummatnya untuk tidak meriwayatkan Hadis tersebut. Sebab Neraka-lah tempatnya bagi orang yang mendustakannya dengan sengaja. Sebuah ancaman yang merindingkan bulu roma. Naudzu billah min dzalik. Dengan demikian, cerita-cerita yang mengklaim bahwa Yusuf menikahi Zulaikha (atau Ra’il), bekas istri al-Aziz, dengan sendirinya tertepis. Sebab penamaan Zulaikha (atau Ra’il) itu bermasalah.

Secercah Harapan

Setelah kita mengetahui sumber riwayat seputar kisah romantis Nabi Yusuf-Zulaikha, khususnya tentang penamaan Zulaikha itu sendiri, maka sesegara mungkin kita harus membenahi diri kita sendiri, agar ibadah kita tidak berlandaskan kisah-kisah fiktif dan imajinasi.

Beberapa bulan yang lalu, kami telah mengusulkan kepada Departemen Agama RI, terutama tim yang menggeluti terjemah al-Qur’an versi Bahasa Indonesia, agar membuang kata “Zulaikha” pada setiap terjemah atau footnote yang ada pada edisi sebelumnya. Sebab dengan membiarkannya, menurut kami, masyarakat akan tetap tidak tahu. Bahkan cenderung bertambah yakin bahwa Zulaikha itu istri Nabi Yusuf. Setelah melewati perdebatan sengit antar tim, akhirnya disetujui untuk membuang kata “Zulaikha” dalam terjemahan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Yusuf, dan menambahkan dalam footnote Surah Yusuf ayat 21 tersebut: “Bahwa riwayat tentang penamaan Zulaikha itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.” al-Qur’an dan Terjemahnya edisi revisi tahun 2002 ini, kini sedang dalam proses diterbitkan.

Disamping itu, kami juga berharap kepada alim-ulama, para da’i dan muballigh, yang ditokohkan oleh masyarakat, agar meluruskan pemahaman yang keliru tersebut. Sebab dalam hal ini, yaitu kisah romantis Nabi Yusuf-Zulaikha, tidak hanya bumbu cerita isra’iliyyat yang menghibur kita sebelum tidur, melainkan telah merangsek kepada keyakinan atau akidah orang awam. Sehingga banyak dari mereka yang menjadikannya sebagai doa. Padahal doa itu, seperti yang sudah kami kemukakan di muka, harus berdasarkan pada dalil-dalil yang shahih.
Dengan demikian, semoga catatan kecil ini menjadi pemicu bagi kita untuk bersikap kritis, tidak menerima secara taken for granted (apa adanya) tafsir-tafsir isra`iliyyat yang tersebar luas pada kitab-kitab tafsir. Tetapi senantiasa membuktikannya dan menyikapinya dengan hati-hati, sekaligus mengkritisinya.

Syeikh Abu al-Fattah Abu Guddah, seorang ahli Hadis dari Syiria, ketika mengomentari kisah-kisah palsu tentang keajaiban seputar kelahiran Nabi Saw, beliau berkata, “Kisah-kisah di atas, dan hal-hal yang seperti itu banyak tercantum dalam kitab-kitab kuning, baik kitab-kitab Hadis maupun kitab-kitab sirah (tarikh Nabi Saw), maka akibatnya banyak orang yang terkecoh, seolah-olah kisah-kisah itu telah terjamin otentisitasnya (keshahihannya). Padahal maksud para penulis kitab-kitab itu tidaklah demikian. Mereka mencantumkan dalam kitab-kitab mereka itu riwayat-riwayat yang shahih maupun yang tidak shahih (palsu) untuk direkam dan diketahui, kemudian untuk diteliti otentisitasnya, bukan untuk dibenarkan dan dianggap otentik.” Dan tentunya, apabila sudah diteliti, mana yang shahih dapat dijadikan pegangan, sedangkan yang tidak shahih (palsu) harus dikubur dalam-dalam.

*Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub (Alumni Tebuireng, 1396 H/1976 M), Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta



Sumber : http://tebuireng.net

Tulisan Terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar