BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Setelah kita ditanya oleh Ibnu Athaillah tentang empat kaifa [kaifa yasyruqu qolbun shuwarul akwaani munthobi’atun fii mir atihi – bagaimana hati dapat bersinar sementara gambar dunia terlukis dalam cerminnya ?, am kaifa yarhulu ilallahi wa huwa mukabbalun bi syahwatihi – atau bagaimana hati bisa berangkat menuju Allah kalau ia masih terbelenggu oleh syahwatnya ?, am kaifa yathma’u an yadkhula hadhratallahi wa huwa lam yatathahhar min janaabati ghafalatihi – atau bagaimana hati akan antusias menghadap ke hadirat Allah bila ia belum suci dari janabah kelalaiannya ?, am kaifa yarjuu an yafhama daqaaiqal asraari wa huwa lam yatub min hafawaatihi – atau bagaimana hati mampu memahami kedalaman misteri gaib padahal ia belum bertobat dari kesalahannya ?], ini ada shock therapy yang luar biasa dari Ibnu Athaaillah, karena kalau tidak dipahami hati kita ketika kita menelusuri empat kaifa tersebut mengenai hudur hati kita sampai kita ini bisa terus menerus bersama Allah, maka orang bisa kaget, bisa terkejut melihat dunia ini.
Dulu ada seorang ulama mengalami stroke karena kaget, ketika menelusuri proses ruhaniah ibarat dari satu tahap ke tahap lain, dari satu langit ke langit lain, kalau digambarkan begitu seperti orang sedang menengadah melihat langit yang penuh keindahan bukan keindahan bintang-bintang, melainkan dibukakan tentang keindahan manifestasi asma’-asma’ Allah yang tersembunyi dibalik satu langit ke langit yang lain. Tiba-tiba kembali lagi ke dunia, langsung kaget, stroke.
Karena itu Beliau mengingatkan supaya kita tidak kaget dengan kalimat [14] : al kaunu kulluhu zhulmah - kehidupan dunia ini semuanya sesungguhnya gelap. Disebut gelap untuk menggambarkan ketiadaan, tidak ada atau tidak wujud karena itu disebut zhulmah. Wa innama anaa rahuzhuhuurul haqqi fiihi – bahwa Allah itu mencahayai semesta ini, karena itu apakah kita ini di dalam nuansa limpahan cahaya atau tidak ? dilanjutkan oleh Beliau faman ra-al kauna – siapa yang melihat semesta dunia yang ada ini (makhluk Allah), wa lam yasyhadhu fiihi – tapi tidak musyahadah, digunakan kalimat wa lam yasyhadhu fiihi ini mengingatkan bahwa proses pandang memandang antara kita dengan gusti Allah itu melalui musyahadah. Di sinilah para sufi membangun istilah yang disebut dengan wahdatusy syuhud dan bukan wahdatul wujud, sebab wahdatul wujud itu berarti patheisme yaitu menyatunya alam dengan tuhan. Alam ini fisiknya dan ruhny adalah tuhan, itulah yang disebut pantheisme dalam filsafat Yunani. Nah disinilah dunia Islam yang dieksplorasi oleh tasawuf menolak apa yang disebut wahdatul wujud, yang benar adalah wahdatusy syuhud karena yang menyatu bukan wujudnya melainkan musyahadahnya yaitu kesaksian hatinya yang menyatu. Bagimana wujud bisa bersatu padahal wujud itu ya hanya satu. Kalau ada wahdatul wujud berarti banyak wujud yang kemudian bersatu wujud itu, sedangkan yang berhak mempunyai sifat wujud itu hanya Allah karena itu Beliau mengatakan awalnya dengan wa lam yasyhadhu – tidak menyaksikan Allah, fiihi – di balik semesta ini, au indahu – atau di sisi semesta ini, au qablahu – atau sebelum adanya semesta ini, au ba’dahu – atau sesudah digulungnya semesta ini, faqad a’wazahu wujuudul anwaar – orangitu telah kehilangan wujud cahaya, wa hujibat ‘anhu syumuusul ma’aarifi bi suhubil atsar – dan orang itu tertutup dari cahaya matahari makrifat oleh mendung-mendung kemakhlukan semesta dunia ini. Dari sinilah kenapa disebut dunia itu suatu pesona yang memperdayai kita karena itu sebenarnya tidak ada hanya bayangan saja seperti orang melamun membayangkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, hanya seakan-akan ada saja. Kalau orang masuk di dalam lamunan itu, maka dia akan kehilangan cahaya lalu orang hidup dalam ghurur tadi. Jadi kehidupan dunia itu bisa memperdayai karena orang bisa kehilangan Allah.
Kalau orang bisa yasyhadhu fiihi bisa musyahdah di balik dunia, di sisi dunia, sebelum adanya dunia dan setelah dunia ini tidak ada maka orang tidak akan pernah kehilangan nur – yang digambarkan sebagai cahaya matahari makrifat. Hal ini penting sekali karena Allahu nuurus samaawaati wal ardh – Allah itu cahaya langit dan bumi [Q.S. 24:35], maksudnya bahwa Allah itu mencahayai, nur itu adalah asma’ dan sifat. Sifat nurNya itu adalah ada di langit dan di bumi, karena itu apa saja – kalau kita ingin mendengar tasbihny alam semesta ini maka musyahadah dulu di balik apa saja yang tampak. Bahwa di balik itu Allah. Seperti misalnya bisa digambarkan soal hubungan interaksi kita dengan Allah melalui apa yang kita pandang – man ra-a nafsahu faqad ra-a rabbahu, siapa yang melihat dirinya maka ia akan melihat tuhannya. Kita itu melihat diri kita apa ? Oh… aku melihat diriku sebagai abd / hamba. Dia melihat tuhannya pada tingkat abd ini berarti ada ubudiyah maka dia melihat tuhannya sebagai rab yang rububiyah. Interaksinya : siapa yang melihat dirinya dengan taubat, contohnya seseorang yang melihat dirinya bersalah dan melakukan taubat maka dia akan melihat tuhannya dengan sifat maghfirah. Siapa yang mengenal dirinya dengan doa, misalnya seseorang yang berkesadaran untuk full dengan doa karena di al qur’an disebutkan yaa ayyuhaannaasu antumul fuqaraa-u ilallah – hai manusia kamu sangat butuh banget sama Allah [Q.S. 35:15], oleh karena itu aku harus mohon – kalau aku mohon aku harus kenal tuhan. Begitu tuhan kenal dengan si pendoa maka dia akan kenal Allah dengan ijabahNya. Proses itu berlangsung terus menerus tidak habis-habisnya.
Dari sinilah Anda mengenal pohon, air, hawa panas, itu semua tentang diri kita sebenarnya, pelajaran dari Allah tentang profile dan prototype diri kita sendiri. Lalu apa ? Oh.. iya Allah sedang menggerakkan apa – sifat apa di situ ? Itulah awal musyahadah.
Dulu saya ada kawan di Jakarta , ceritanya lagi jadzab yang membawa hikmah tetapi jangan ikut-ikut lho ya… Perusahaan kalau di Jakarta kalau ada kantor gede bikin listing sumbangan mau bikin musholla, kebanyakan yang memberikan sumbangan ditulis hamba Allah seratus ribu misalnya, nah kawan saya lagi agak gendeng ditulis saja Allah seratus ribu – geger sekantor itu. Karena kawan saya agak kontroversial, maka dipanggil oleh direkturnya, “Rosyid, sini !, Kenapa mengaku tuhan ? Ini ada bukti-buktinya”, “Ini tanda tangan siapa ?”. Si Rosyid menjawab, “Ini tanda tangan saya memang, tapi sebenarnya begini Pak tujuan saya agar temen-temen kantor nanti ketika membangun musholla merasa bahwa yang membangun itu gusti Allah juga bukan cuman diklaim oleh temen-temen sekantor ini”. “Lho maksudmu gimana kok kamu tulis Allah begini ?”. “Lha iya sekarang saya minta Bapak menulis di kertas tulisan apa saja”. Kemudian ditulis misalnya : rencana pembangunan musholla. “Siapa Pak yang nulis tadi ?”. “Saya”. “Apa bukan pulpen yang nulis ? Sama seperti saya, saya ini cuman pulpennya gusti Allah, jadi engga berhak mengaku tadi tulisan saya, tulisannya gusti Allah juga”. Jadi semua itu tadi merupakan gambaran saja bahwa itu cermin. Dulu Syekh Jalaluddin ar Rumi yang punya tarekat Maulawiyah, pernah mengadakan lomba lukis, ada orang yangmengikuti tanpa membawa kertas tetapi membawa cermin. Saat lukisan dikumpulkan, ditanya orangtersebut tentanglukisannya dan dia menjawab, “Bapak minta lukisan apa ? Mau lukisan gunung ? Ini dia” sambil menghadapkan cermin ke arah gunung. Dari hal ini sebenarnya Syekh Jalaluddin ar Rumi ingin mengingatkan bedanya seorang sufi dengan intelektual atau cendekiawan. Kalau intelektual/ilmuwan/cendekiawan ya seperti pelukis itu kerjanya menggambar, mengukur, menghitung tetapi tidak bisa 3 dimensi seperti dalam cermin itu. Nah si sufi ini hanya ingin memotret saja yang pas. Qolbul mu’minin baitullah – qolbunya orang beriman itu rumah Allah, cermin Allah. Cermin itu kecil, tetapi kenapa bisa mewadahi seluruh gambar bukit yang ada di hadapannya ? Itu untuk menjawab pertanyaan bahwa Allah itu tak terhingga tetapi kok dalam hadis Qudsi berfirman bahwa yang bisa memuat Allah cuma hati orang yang beriman. Lha hati itu seperti cermin tadi, karena itu hati kita ini tiap hari harus digosok terus supaya ada pancaran nur tadi, nurnya Allah biar bisa persis terpantul dalam hati kita. Kalau tidak bisa persis ya karena salah kita saja, soal yaqin kita kepada Allah saja.
Dalam memandang alam semesta kita tidak boleh memandang wujudnya saja, karena perintah Allah itu kita disuruh memnadang yang tersembunyi di balik yang wujud dalam rangka musyahadah. Di sanalah ada af’al, asma’ dan sifat Allah, sehingga akhirnya seseorang hisa memahami kalau Allah menyebutkan bahwa seluruh yang ada di langit dan di bumi bertasbih.
Daun akan menyucikan Allah karena dia tidak akan mengklaim dirinya tumbuh karena dirinya, kalau dia mengklaim dia tumbuh dengan sendirinya berate dia mengotori, mengurangi af’al, asma’ dan sifat Allah.
Dilanjutkan dengan [15] : mimmaa yadulluka ‘ala wujuudi qahrihi subhaanahu an hajabaka ‘anhu bimaa laisa bimaujuudin ma’ahu. Salah satu sifat Qahar-nya Allah yaitu memaksanya Allah, antara lain adalah menutup diri kita ini dengan sesuatu tutup yang sebenarnya tutup itu tidak pernah ada. Manusia sering kali tertutup antara dirinya dan tuhanya dengan sesuatu, bisa dunia, bisa hawa nafsu, bisa khayalan, bisa akhirat, padahala hakikatnya tutup itu tidak ada. Kalau ada sesuatuyang bisa menutupi Allah berarti sesuatu itu akbaru minhu - lebih besar dibandingkan Allah. Kita harus mulai belajar merasakan bahwa kita sholat, bergerak kesana kemari, Rasulullah mengajari terus menerus mengucapkan bismillahirrohmanirrohim. Sebenarnya untuk apa ? Hal itu adalah minimal agar kita sadar bahwa di balik itu semua ada asmanya Allah sehingga hubungan kita dengan Allah tidak mudah tertutup oleh sesuatu yang sebenarnya sesuatu itu tidak ada. Yang ada itu Allah saja. Kita ini kan hanya cermin. Tetapi manusia menjadi salah manakala bercermin dan mengaku bahwa yang di cermin itu adalah dirinya.
Posisi musyahadah adalah dalam wilayah ruh menjelang wilayah sirr. Jangan diturunkan di wilayah akal, nanti akan menjadi seperti orang membawa cermin tadi yang kemana-mana pengumuman bahwa cermin itulah dirinya. Bias dari ruh adalah qalbu kita ini.
Dilanjutkan dengan sepuluh kaifa [16] : kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwalladzi zhahara bikulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah menyertai segalanya [menyertai itu ya apa saja ada Allah di situ, tetapi sesuatu tidak bisa menyertai Allah, Allah yang menyertai sesuatu], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwalladzi zhahara fii kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah tampak dibalik segala sesuatu, kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwalladzi zhahara likulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah tampak bagi segala sesuatu [Maksudnya kalau Allah tampak bagi segala sesuatu berarti yang lain tidak tampak, lalu jangan yang lain itu kita jadikan tutup wong tidak tampak], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syai’ wa huwazh zhahiru qabla wujuudi kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah sudah tampak sebelum segala sesuatu yang ada ini tampak dan ada, kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun wa huwa azh-haru min kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah itu lebih jelas dari segalanya yang ada [Lebih jelas, bahkan saking jelasnya tidak bisa dilihat oleh mata kepala kita dan hanya bisa dipandang oleh mata hati kita. Mata hati kita ini produk akhirat yang ada di dunia sehingga bisa memandang Allah.], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun wa huwal wahidulladzi laysa ma’ahu syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah itu satu-satunya tidak ada yang menyertainya [Satu-satunya itu adalah pernyataan seseorang ketika sudah menafikan semuanya, lalu orang akan mengatakan Kaulah satu-satunya. Hal ini beda dengan Kaulah Maha Esa, beda ! Al wahid itu artinya satu-satunya.], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun wa huwa aqrabu ilayka min kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, sedangkan Allah maha dekat dibanding apa pun yang dekat dengan kita [Karena maha dekat janganlah membayangkan bahwa kedekatan dengan Allah itu berdasarkan dekatnya jarak, ruang, waktu dan zaman. Hal tersebut tidak bisa untuk mengukur dekatnya Allah.], kaifa yatashawwaru an yahjubahu syaiun walaulaa hu maa kaana wujuudu kulli syai’ – bagaimana sesuatu itu menutup Allah, kalau tanpa Allah segalanya tidak pernah ada, yaa ‘ajaban kaifa yazh-harul wujuudu fiil ‘adam – sungguh mengagumkan / mengherankan bagaimana engkau bayangkan ada sesuatu yang ada padahal itu ada dalam ketiadaan [Orang itu terhijab karena dia memproduksi sesuatu yang disebut menurut dia ada padahal dalam ketiadaan], kaifa yatsbutul haaditsu ma’a man lahu washfil qidam – bagaimana sesuatu yang baru kita sandingkan dengan sesuatu yang maha dahulu [Itu tidak akan terjadi.].
Jadi sepuluh hal tersebut silahkan Anda tulis, ditempel di kamar Anda, di tempat Anda merenung agar suasana musyahadah dengan Allah dapat terus. “Engkau semua Allah” dan di situlah awal interaktif, awal Anda on line terus dengan Allah lalu Anda akan menyadari bahwa hijab itu ternyata tidak ada. “Kok gusti Allah semua ya?” jadi nanti akan begitu.
Sumber : http://majeliscahayailahi.blogspot.com
Tulisan Terkait :
Tulisan Terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar