Kamis, 27 Januari 2011

Ibnu Athoillah As Sakandari (Penyusun kitab al-Hikam)



Kelahiran dan keluarganya

Penyusun kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini bernama lengkap Tajuddin Abul Fadl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athoillah As_Sakandari Al_Judzami Al_Maliki As_Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab Al_Aa’ribah.

Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abul Hasan As_Syadili (pendiri Thariqah al-Syadziliyyah) sebagaimana diceritakan Ibnu Athoillah dalam kitabnya Lathoiful Minan, “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abul Hasan As_Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan, “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Athoillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti Al-Faqih Nasiruddin Al_Mimbar Al_Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Athoillah memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab. Tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya Sholihin. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang – terangan tidak menyukainya.

Ibnu Athoillah menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan, bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Athoillah yaitu Abul Abbas Ahmad Al_Mursiy mengatakan, “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Athoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”. Dan ketika aku datang, Al_Mursiy mengatakan, “Malaikat Jibril as telah datang kepada Nabi Saw bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang Quraisy tidak percaya pada Nabi Saw. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi Saw dan mengatakan, ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi Saw mengatakan, ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Athoillah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Athoillah menjadi tiga masa :

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran – pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih. Dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita, “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abul Abbas Al_Mursiy, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau. Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal – hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abul Abbas Al_Mursiy, tahun 674 H dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya terhadap ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan Al_Mursiy, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf. Suatu ketika Ibn ‘Athoillah mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya – tanya dalam hatinya, “Apakah semestinya aku membenci tasawuf??. Apakah merupakan sesuatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas Ahmad Al_Mursi ?”.

Ibnu ‘Athoillah kemudian berkisah, “Setelah lama aku merenung dan mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa Al_Mursiy sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf”.

“Lalu akupun datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata Al_Mursiy yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah Swt, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai – sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru, Al_Mursiy”.

Dalam hal ini Ibn ‘Athoilah menceritakan, “Aku menghadap guruku Al-Mursi dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan, “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya thariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata, “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan, “Tidak seperti itu thariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah Swt padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang – orang As_Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah Swt sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”.

Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah Swt telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah Swt”.

Masa ketiga

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn ‘Atho dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu ‘Athoillah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah Swt.

Menurut Ibnu Athoillah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.

Ibnu Athoillah sepeninggal gurunya Abul Abbas Al_Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban disamping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid Al_Azhar.

Ibnu Hajar berkata, “Ibnu ‘Athoillah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan – perkatan orang kebanyakan dengan riwayat – riwayat dari salafus sholih, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”.

Hal senada diucapkan juga oleh Ibnu Tagri Baradi, “Ibnu ‘Athoillah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah Al-Mansuriah di Hay As_Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin As_Subki (ayah Tajuddin As_Subki), pengarang kitab Thobaqatus Syafi’iyyah Al-Kubro”.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Karomah Ibn Athoillah

Al-Munawi dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan, “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya, “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras, “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Athoillah ketika meninggal kelak.

Diantara karomah pengarang kitab Al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Disana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’a dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman – temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak?. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman – temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia langsung menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya, “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab, “Tuanku… saya melihat tuanku disana”. Dengan tersenyum Al_’Arif billah ini menerangkan, “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb dipanggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Ibn Atho’illah wafat

Tahun 709 H adalah bagian dari tahun berduka citanya kaum muslimin. Karena pada tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta.

Namun demikian Madrasah Al_Manshuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman Al_Qorrofah Al_Kubro.


Sumber: http://sl-si.facebook.com/notes/al-kahfi-islamic-boarding-school-somalangu-kebumen

Tulisan Terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar