Senin, 03 Januari 2011

Sunnahnya Tawassul Dengan Nabi Sejak Sebelum Lahir - Hidup - Wafat Maupun Orang Shaleh


وَلَوْ أَنْهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا( النساء : 64 )
Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S an-Nisa' : 64)

Inilah ayat yang menjadi dasar Tawassul oleh mayoritas sahabat, mayoritas tabi'in dan mayoritas ulama salafus shalihin. Perlu kami jelaskan bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ  ( المائدة  : 35 )
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Q.S. al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Para ulama sepakat memperbolehkan berdoa kepada Allah SWT dengan tawasul / berperantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis sahih yang sangat populer yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul dengan amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul dengan perbuatannya  yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh.

Imam as-Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad saw  ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah swt, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah swt yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah swt, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah swt tetap abadi walau mereka telah wafat." (HM. Cholil Nafis, 2009).

1. Tawasulnya Para Nabi Kepada Nabi
a. Tawassul Nabi Adam a.s Kepada Nabi saw sebelum Lahir.
فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ  ( البقرة : 37 )
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah : 37)
Syaikh Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab tafsirnya menafsirkan ayat ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : لمَاَ أَذْنَبَ آدَمُ صَلَّى اللهُ عليه وسلم الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى الْعَرْشِ ، فَقَالَ : أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلَّا غَفَرْتَ لِي ، فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ ، « وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ » فَقَالَ : تَبَارَكَ اسْمُكَ ، لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ ، فَإِذًا فِيْهِ مَكْتُوْبٌ : لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ ، مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ ، ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا ِممَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسَمِكَ ، فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ :  يَا آدَمُ ، إِنَّهُ آخِرُ النَبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ ، وَلَوْلاَهُوَ يَا آدَمُ مَا خَلَقْتُكَ ( الدر المنثور -ج 1 / ص 91)
Imam Thabrani, Hakim, Abu Nu'aim, Baihaqi, Ibnu 'Asakir meriwayatkan dari sayyidina Umar bin Khatthab ra. berkata bahwa baginda Rasulullah SAW berkata: “Tatkala Nabi Adam a.s. telah berbuat kesalahan beliau mengangkat kepalanya ke arsy dan memohon: “Ya Allah aku memohon kepada Engkau dengan kebenaran Muhammad saw, maka tidak lain Engkau akan mengampuniku" Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya: “Apa dan siapakah Muhammad saw?" Baginda a.s menjawab: Ketika Engkau jadikan aku, maka aku melihat ke ‘arsy-Mu dan terpandang tulisan Laa ilaha illallah Muhammadur rasulullah. "Maka aku yakin bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya disisiMu yang namanya Engkau letakan bersama Nama Mu”. Lantas Allah mewahyukan kepada baginda a.s.: ”Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi Akhir zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka aku tidak akan menciptakanmu”. (Ad-Durrul Mantsur, Juz I, hal. 91)
صَدَقْتَ يَا آدَمُ ، إِنَّهُ لَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ وَإِذْ سَأَلْتَنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ ، وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.( دلائل النبوة للبيهقي - ج 6 / ص 118
Dalam riwayat Baihaqi yang lainnya: … Benar kamu ya Adam. Sungguh dia (Muhammad saw) adalah makhluk yang paling aku cintai. Jika engkau meminta kepada-Ku dengan kebenarannya, maka sungguh Aku mengampunimu. Jika tidak karena Muhammad, maka Aku tidak akan menciptakanmu. (H.R. Baihaqi)

Bagitu agungnya Muhammad saw, sampai-sampai nabi Adam a.s. yang masih ada di surga, yang tidak ada penghalang antara ia dan Allah, tapi ketika beliau bersalah, maka agar permohonannya diterima, beliau menghadapkan permintaan ampun kepada Allah bersama-sama dengan seorang makhluk yang paling Allah cintai.

b. Tawassulnya Nabi Muhammad saw kepada Para Nabi

Rasulullah saw sendiri yang juga pernah melakukannya, ketika wafatnya Fatimah binti Asad ibunda sayyidina Ali bin Abi Thalib:
عَنْ أَنَسِ بن مَالِكٍ.... فَلَمَّا فَرَغَ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَاضْطَجَعَ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لا يَمُوتُ، اغْفِرْ لأُمِّي فَاطِمَةَ بنتِ أَسَدٍ، ولَقِّنْهَا حُجَّتَها، وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مُدْخَلَهَا، بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي، فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ وَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا، وأَدْخَلُوها اللَّحْدَ هُوَ وَالْعَبَّاسُ، وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ  ( المعجم الكبير للطبراني - ج 18 / ص 83)

Dari sahabat Anas bin Malik.. setelah selesai membuat liang lahat maka Rasulullah saw tidur miring di dalam liang tersebut, kemudian berdoa: Allahlah Dzat yang menghidup dan mematikan. Dia yang Maha Hidup dan tidak mati, semoga Engkau mengampuni ibundaku Fatimah binti Asad, tuntunlah hujahnya/jawabanya, luaskanlah kuburnya dengan haq kemuliaan Nabi-Mu dan nabi-nabi sebelumku. Sungguh Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayan. Lalu Rasul takbir empat kali. Dan Rasul, 'Abbas dan Abu Bakar as-Shiddiq yang kemudian memasukkan jenazah. (H.R. Thabrani)

2. Tawassulnya Sahabat kepada Nabi Muhammad saw
a. Tawassul Sahabat Pada Nabi SAW dan Orang Shalih Semasa Hidup
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ  ( صحيح البخاري)
Dari Anas r.a. ketika terjadi kemarau, Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Mutthalib. Umar berdoa: Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah kami hujan. Anas berkata: maka mereka diberi hujan. (H.R. Bukhari)

b. Tawassul Para Sahabat Kepada Nabi SAW Setelah Wafat

Prilaku dan keyakinan para sahabat bahwa kematian tidak mungkin membatasi keagungan Nabi saw, sehingga ketika beliau telah wafatpun, tawasul itu tetap dilaksanakan sebagaimana ketika beliau hidup. Semua itu disandarkan pada surat an-Nisa' ayat 64 di atas dan sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi saw:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص م-  : مَنْ زَارَنِى بَعْدَ مَوْتِى فَكَأَنَّمَا زَارَنِى فِى حَيَاتِى.. (رواه البيهقي و الدارقطني)

Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang menziarahi aku setelah wafatku, maka seakan-akan ia mengunjungi aku dalam waktu hidupku".(H.R. Baihaqi dan Daruqutni)
Ibnu Hajar al-'Asqolani dalam kitab Fathul Baari (Syarah Shahih Bukhari) mengatakan: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dary –bendaharawan khalifah Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi seraya berkata: "Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa". Kemudian Rasulullah saw datang dalam mimpinya dan berkata kepadanya: "Datangilah Umar, dan sampaikan salam(ku) serta beritahukan padanya bahwa hujan akan mengguyur kamu semua. Juga katakan padanya agar ia selalu bijaksana dan murah hati". Maka ia mendatangi Umar r.a. dan menghabarkan salam dan pesan Nabi saw, maka Umar r.a. menangis. Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa orang tersebut adalah sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzni. (H.R. Baihaqi, hadits dengan tambahan tashih ini diambil dari Kitab Fathul Baari fi Sarhi Shahih al-Bukhari Juz III / hal. 441)

حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوْزَاءِ : أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَحْطاً شَدِيداً ، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ : انْظُرُوا قَبْرَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ : فَفَعَلُوا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّىَ عَامَ الْفَتْقِ. (سنن الدارمي - ج 1 / ص 108)

Abul Jauza (Aus bin Abdullah) menceritakan pada kami: Bahwa penduduk Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada 'Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Ibu 'Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang antaranya dan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian penduduk Madinah melakukannya (berdoa di sisi makam Rasulullah saw), kemudian kami diguyur hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (tahun kesejahteraan)”. (H.R. ad-Darami)

Para ahli tafsir diantaranya al-Hafidz Abu al-Fida' Ibnu Katsir (hati-hati: bukan Terjemahan Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir yang beredar yang diringkas oleh kaum Wahabi, sebab komentar/catatan kaki Ringkasan tsb. berbeda 180 derajat dengan penulisnya), dalam kitabnya beliau menafsirkan an-Nisa' ayat 64 sbb:
{ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا}   يَرْشُدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِيْنَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَاْلعِصْيَانُ أَنْ يَأْتُوْا إِلَى الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم فَيَسْتَغْفِرُوا اللهَ عِنْدَهُ، وَيَسْأَلُوْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُمْ، فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وِرِحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ، وَلِهَذَا قَالَ: { لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا }وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ: الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرِ بْنُ الصَّبَاغِ فيِ كِتَابِهِ "الشَّامِل"  الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ اْلعُتْبي، قال: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ  قَبْر ِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِعْتُ اللَّهَ - تَعَالَى - يَقُولُ { وَلَوْ أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا} وَقَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَجِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا مِنْ ذَنْبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إلَى رَبِّي ، ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ : يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ فِي الْأَرْضِ أَعْظُمُهُ فَطَابَ مِنْ طِيبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ ثُمَّ انْصَرَفَ . قَالَ الْعُتْبِيُّ : فَغَلَبَتْنِي عَيْنَايَ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ لِي : يَا عُتْبِيُّ الْحَقْ الْأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ  (تفسير ابن كثير - (ج  1 / 573)

Dengan ayat ini (an-Nisa' : 64) Allah swt memberikan petunjuk pada orang-orang yang berbuat maksiat dan berdosa, jika mereka melakukan kesalahan dan kemaksiatan, agar supaya datang kepada Rasulullah saw, dan memohon ampunan Allah (taubat) di sisi Nabi Muhammad saw. Dan mereka minta kepada Rasul agar memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Jika mereka melakukan itu semua, maka Allah mangasihi dan mengampuni mereka. Karena ini sebagaimana firmannya (maka sungguh mereka mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang). Mayoritas salafus shalihin telah menyebutkan (dalam menafsiri ayat ini) diataranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya "As-Syaami"l dari sahabat Al-Ataby; berkata: saya duduk di sisi kuburan Nabi SAW maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’alaika ya Rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman; Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S an-Nisa' : 64); dan saya telah datang kepadamu  dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa'at / pertolongan dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji-muji Rasulullah…., kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan bermimpi bertemu Rasulullah, beliau bersabda: Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya. (Tafsir Ibnu Katsir Juz I, Hal. 573)

Atas dasar semua itu juga, maka imam al-Ghazali menganjurkan kepada kita semua  ketika berziarah ke Madinah, setelah memberi salam kepada Nabi saw lalu sahabat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khatthab, kemudian ….

.... ثُمَّ يَقُوْلُ " اَللّهُمَّ إِنَّكَ قَدْ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ  "وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا " اَللّهُمَّ إِنَّا قَدْ سَمِعْنَا قَوْلَكَ وَأَطِعْنَا أَمْرَكَ وَقَصَدْنَا نَبِيَّكَ مُتَشَفِّعِيْنَ بِهِ إِلَيْكَ فيِ ذُنُوْبِنَا وَمَا أَثْقَلَ ظُهُوْرَنَا مِنْ أَوْزَارِنَا تَائِبِيْنَ مِنْ زِلَّلِنَا مُعْتَرِفِيْنَ بِخَطَايَانَا وَتَقْصِيْرِنَا فَتُبْ اللّهُمَّ عَلَيْنَا وَشَفِّعْ نَبِيَّكَ هَذَا فِيْنَا وَارْفَعْنَا بِمَنْزِلَتِهِ عِنْدَكَ وَحُقَّهُ عَلَيْكَ. اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ وَاغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا..  ( إحياء علوم الدين- ج 1 / ص 270)

...… kemudian mengucapkan: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu adalah hak / benar - Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (an-Nisa' : 64). Ya Allah kami mendengarkan firman-Mu, kami taat / tunduk pada perintah-Mu dan kami (datang)  menemui Nabi-Mu sebagai orang yang meminta syafa'at / pertolongannya (agar memohonkan) kepada Engkau (ampunan) atas dosa-dosa kami, dan semua dosa yang membebani punggung kami, juga sebagai orang yang taubat dari dosa dan mengakui kesalahan-kesalahan dan kekurangan kami. Maka terimalah taubat kami ya Allah dan berilah pertolongan pada Nabi-Mu ini dalam perkaraku, ampuni dosa kami dengan kedudukannya di sisi-Mu dan tetapkanlah ia untuk-Mu. Ya Allah, ampunilah kaum muhajirin dan anshar dan ampunilah kami dan saudara-saudara kami……...(Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin -Bab Ziarah ke Madinah dan Tata-kramanya. Juz I, hal. 270)

3. Tawassulnya Para Salafus Shalihin kepada Para Shalihin

Tradisi berdo'a kepada Allah dengan tawassul dan dihadapan Nabi dan orang-orang shalih baik hidup maupun setelah wafat biasa dilakukan para salafus shalihin, karena ulama pada dasarnya adalah warosatul anbiya', pewaris para nabi sebagaimana apa yang dikatakan oleh imam Syafi'i, beliau keturunan ke-4 dari Rasulullah saw (150-204 H) ketika ziarah ke makam Imam Abu Hanifah (80-150 H, beliau seorang tabi'in yang berguru kepada para sahabat dan ketika kecil pernah didoakan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib r.a) dan Imam Malik bin Anas (Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik, seorang tabi'in pendiri Madzhab Maliki, 93-180 H):

الشافعي يقول: إِنِّي لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيءُ إِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ يَعْنِي زَائِراً فَإِذَا عَرَضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى وَمَقْبَرَةِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَالِكِ دُفِنَ بِهَا خَلْقٌ كَثِيْرٌ مِنَ الْفُقَهَاِء وَالْمُحَدِّثِيْنَ وَالزُّهَادِ وَالصَّالِحِيْنَ وَتُعْرَفُ بِالْمَالِكِيَّةِ. ( تاريخ بغداد - ج 1 /ص 55)

Imam Ibn Idris as-Syafi’i  menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan. Dan juga ziarah ke pekuburan Abdullah bin Malik, yang disana juga banyak dikubur para ahli fiqh, ahli hadits, para zuhud (sufi) dan orang-orang shalih dari kalangan madzhab Maliki” (Tarikh Baghdad, Juz I, hal. 55)

Itulah prilaku para salaffus shalihin yang selalu mengikuti jejaknya Rasulullah saw dan para sahabat. (Untuk bab Tabarruk sahabat kepada Nabi sampai para salafus shalihin akan dibahas pada edisi yang lain). Sebagai penutup, kami ketengahkan beberapa pendapat ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah berkaitan dengan tawassul:

4. Pendapat Mayoritas Ulama Salaf Tentang "Tawassul"
قَالَ اْلإِمَامُ السُّبْكِي - رحمه الله تعالى -: اِعْلَمْ أَنَّ اْلاِسْتِعَانَةَ وَالتَّشَفُّعَ بِالنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - وَبِجَاهِهِ وَبَرَكَتِهِ إِلىَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مِنْ فِعْلِ اْلأَنْبِيَاِء - صلى الله عليه وسلم - وَسِيْرِ السَّلَفِ الصَّالِحِيْنَ وَاِقعٌ فيِ كُلِّ حَالٍ، قَبْلَ خَلْقِهِ وَبَعْدَ خَلْقِهِ، فيِ مُدَّةِ حَيَاتِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ، وَمُدَّةِ الْبَرْزَخِ [ وَبَعْدَ الْبَعْثِ ] وَعَرْصَاتِ الْقِيَامَةِ، وَذَلِكَ ِممَّا قَامَ اْلإِجْمَاعُ عَلَيْهِ وَتَوَاتَرَتْ بِهِ اْلأَخْبَارُ.( سبل الهدى والرشاد - ج 12 / ص 403)

Imam as-Subki r.a mengatakan: Ketahuilah bahwa sesungguhnya meminta tolong  dan minta syafa'at dengan perantara "Nabi saw", "keluhuran/kemulian" dan "keberkahan" Nabi kepada Allah swt termasuk sebagian dari prilaku/sunnah para nabi, juga prilaku para salafus shalihin yang ada dalam semua keadaan. Baik sebelum Nabi saw dilahirkan, semasa hidup di dunia, di alam barzakh/setelah wafat dan hari kiamat. Itu adalah sebagian dari ketetapan / ijma' dan adanya hadits-hadits mutawatir tentang itu. (Subulul Huda war Rasyad, Juz XII, hal. 403)

نُقِلَ عَنْ الزَّيْلَعِيِّ وَيَجُوزُ التَّوَسُّلُ إلَى اللَّهِ تَعَالَى وَالِاسْتِغَاثَةُ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ بَعْدَ مَوْتِهِمْ لِأَنَّ الْمُعْجِزَةَ وَالْكَرَامَةَ لَا تَنْقَطِعُ بِمَوْتِهِمْ وَعَنْ الرَّمْلِيِّ أَيْضًا بِعَدَمِ انْقِطَاعِ الْكَرَامَةِ بِالْمَوْتِ وَعَنْ إمَامِ الْحَرَمَيْنِ وَلَا يُنْكِرُ الْكَرَامَةَ وَلَوْ بَعْدَ الْمَوْتِ إلَّا رَافِضِيٌّ .( بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية - ج 1 / ص 494)

Dinukil dari imam az-Zaila'i: Diperbolehkan tawassul dan istighotsah kepada Allah dengan perantara para nabi dan orang-orang shalih setelah wafatnya mereka. Karena sungguh mu'jizat (para nabi) dan karamah (orang-orang shalih) itu tidak akan berakhir-terputus dengan wafatnya mereka. Sebagaimana juga pendapat dari imam ar-Romli: Karamah tidak akan berhenti-terputus dengan kematian. Imam al-Haramain juga tidak memungkiri karamah sekalipun setelah kematian, kecuali kaum Rafidl (sekte syiah) yang mengingkari ini. (Bariqoh Muhammadiyyah, Juz I, hal. 494)

وَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ النُّعْمَانِ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ الْمُسَمَّى بِسَفِينَةِ النَّجَاءِ لِأَهْلِ الِالْتِجَاءِ ...أَنَّ زِيَارَةَ قُبُورِ الصَّالِحِينَ مَحْبُوبَةٌ لِأَجْلِ التَّبَرُّكِ مَعَ الِاعْتِبَارِ ، فَإِنَّ بَرَكَةَ الصَّالِحِينَ جَارِيَةٌ بَعْدَ مَمَاتِهِمْ كَمَا كَانَتْ فِي حَيَاتِهِمْ. ( المدخل - (ج 1 / ص 388)

As-Syaikh al-Imam Abu Abdullah bin  Nu'man berkata: Bahwa menziarahi makam para shalihin sangat disunnahkan karena untuk mencari barakah dan mengambil I'tibar (pelajaran dari kematian dan perjuangannya). Karena sesungguhnya barakah para shalihin itu terus mengalir setelah wafatnya mereka, sebagaimana barakah itu mengalir dalam kehidupan mereka. (al-Madkhal, Juz I. hal. 388)


Tulisan Terkait :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar