Minggu, 05 Desember 2010

Khutbah Fiqh : Thaharah - Sucikan Ruhani dan Jasmanimu

Kumpulan Khutbah Jum'at Ilmiah
FIQH - THAHARAH

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ .اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. امابعدفَيَاآيُّهَا الْحأضِرُوْنَ الْكِرَامِ . اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hadirin sidang jum'at rahimakumullah
Marilah kita tingkatkan takwa kita kepada Allah dalam arti yang sebenar-benarnya, yakni menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.

Thaharah atau bersuci merupakan syarat pokok sahnya ibadah. Begitu luar biasanya perhatian Islam tentang bersuci dan kesucian sampai-sampai Rasulullah saw bersabda Kebersihan itu sebagian dari Iman. Oleh karenanya sesuatu yang tidak suci, maka tidak mungkin diterima dan bersama dengan Dzat Yang Maha Suci. tidaklah berlebihan jika dikatakan, tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam.


وَالطَّهَارَةُ لُغَةً النَّظَافَةُ وَالْخُلُوصُ مِنْ الْأَدْنَاسِ وَشَرْعًا رَفْعُ حَدَثٍ أَوْ إزَالَةُ نَجَسٍ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُمَا وَعَلَى صُورَتِهِمَا كَالتَّيَمُّمِ وَالْأَغْسَالِ الْمَسْنُونَةِ وَتَجْدِيدِ الْوُضُوءِ وَالْغَسْلَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَهِيَ شَامِلَةٌ لِأَنْوَاعِ الطِّهَارَاتِ (حاشية الجمل - ج 1 / ص 77

Thaharah menurut bahasa berarti bersih dan suci dari kotoran, dan menurut syara’ atau agama berarti membersihkan hadats atau menghilangkan najis atau sesuatu yang berada dalam makna keduanya, dan termasuk juga sesuatu yang bentuknya sama seperti keduanya seperti mandi-mandi sunah, memperbaharui wudlu ( bagi yang belum batal ), dan basuhan ( sunah dalam wudlu dan mandi ) yang kedua dan ketiga. Maka itu semua termasuk dari macam-macamnya thaharah / sesuci. (Hasyiyah al-Jamal. Juz I, Hal. 77)

Hadirin sidang jum'at yang dirahmati Allah
Dalam pengertian syara’/ agama, Najis adalah kotoran yang bersifat jasmani seperti darah, air kencing dan tinja. Sedang Hadats adalah kotoran yang bersifat maknawi atau ruhani dan hanya berlaku pada manusia. Mereka yang terkena hadats ini terlarang untuk melakukan sholat dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi dan tayamum.

Thaharah dari hadats maknawi / ruhani itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) dan taat kepada Allah SWT. Adapun Thaharah dari najis pada tangan, pakaian atau bejana, maka kesempurnaanya bukanlah dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya manjadi suci. Alat Thaharah dari hadas-najis yang pokok/asal adalah menggunakan air, berdasarkan firman Allah swt:

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ (الأنفال :11)

(Ingatlah) ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya. dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk memperteguh dengannya telapak kaki(mu).(Q.S. al-Anfal : 11)

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا (الفرقان:48)

Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih. (Q.S. al-Furqan :48)

Hadirin sidang jum'at yang dirahmati Allah
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa طَهُورٌ itu berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain. Para ulama membagi air berdasarkan keadaannya menjadi tiga macam, yaitu:

1) Air Muthlaq ialah air yang sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau yang keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang mencair, Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belerang, dan sebagainya. Air muthlaq itu hukumnya suci dan dapat menyucikan yang lainnya.

2) Air musta’mal adalah air muthlaq yang telah digunakan untuk sesuci.
a) Air Musta’mal Maknawi, adalah air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats ma’nawi yakni wudlu-mandi dan airnya kurang dari 2 kulah. Hukum air musta’mal ini adalah suci tapi tidak dapat digunakan lagi untuk menghilangkan hadas maupun najis. Tetapi jika air yang telah dipakai untuk mandi sunah dan basuhan-basuhan sunah, sebagian ulama ada yang berpendapat air itu suci karena bukan untuk menghilangkan hadats, sehingga bisa digunakan untuk wudlu dan mandi wajib.(al-Muhaddzab. Juz I. Hal. 8)

b) Air Musta’mal Jasmani, adalah air yang telah digunakan untuk menghilangkan najis jasmani dari anggota badan, pakaian dll. karena berpisah dengan sendirinya atau dengan jalan diperas. Air Musta’mal ini biasa disebut dengan air mutannajis atau air yang terkena najis. Air bisa menjadi mutanajis dikarenakan, pertama, air yang digunakan adalah air sedikit yakni air yang kurang dari 2 kulah atau 1 karra, baik kondisi airnya berubah maupun tidak. Atau air sedikit yang tertetes air mutannajis, maka semuanya menjadi air mutanajis. Kedua, jika air banyak yakni air yang telah mencapai 2 kullah atau lebih tetapi terjadi perubahan kondisi air ketika setelah bersentuhan dengan najis. Semua madzhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa dan bau karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi air mutannajis. Mereka menyandarkan pada hadits masyhur:

ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَنْجُسْهُ شَيْئٌ اِلاَّ مَا غَلَبَهُ رِيْحُهُ أَوْ طَعْمُهُ. (السنن الكبرى للبيهقي – ج 1 ص 259)

Sesungguhnya Nabi saw bersabda: Apabila air itu ada / sampai 2 kulah maka apa pun tidak bisa membuatnya najis kecuali jika najis itu mempengaruhi kondisi bau dan rasanya air. (H.R. al-Baihaqi)

3) Air Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air yang muthlaq pada asalnya, kemudian bercampur dengan benda-benda suci lain, misalnya air bunga dan air teh. Air semacam itu suci, tetapi tidak dapat digunakan menghilangkan hadats ma’nawi (wudlu dan mandi). Bahkan menurut semua madzhab, air mudhaf tidak bisa digunakan untuk menyucikan najis, kecuali madzhab Hanafi yang membolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan, selain minyak, tapi bukan air yang berubah karena dimasak.

Hadirin sidang jum'at yang dirahmati Allah
Dilihat dari sedikit dan banyaknya air, para fuqoha (ahli fiqh) membaginya menjadi:
1) Air Sedikit yaitu air yang kurang dari dua kulah atau 1 karra (kurang dari 60 cm kubik). Cara menggunakannya dalam menghilangkan najis dan hadats:
a) Tidak boleh dikobok atau mencelupkan tangan atau anggota badan secara langsung karena akan menjadikan air musta’mal semuanya. Maka harus menggunakan gayung / pancuran.
b) Tidak boleh tertetesi air musta’mal, karena air sedikit yang tertetesi air musta’mal, maka semua air tadi dihukumi menjadi musta’mal. Contoh: jika ada air sedikit dalam bak / bejana, dan kita membasuh muka dalam wudlu dengan dikobok atau diambil dengan tangan maka sisa basuhan muka yang ada di tangan dan kita memasukkannya ke bak lagi, maka air dalam bak tersebut menjadi musta’mal semuanya, dan air tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk membasuh tangan, kepala dan kaki. Jika tetap digunakan maka hanya basuhan muka saja yang sah, sementara basuhan yang lainnya tidak sah karena menggunakan air musta’mal, dan secara otomatis wudlu tersebut pun tidak sah adanya. Atau kita mengambil dengan gayung, tetapi ketika membasuh ada cipratan basuhan muka yang menetesi bak, maka juga ia menjadi musta’mal semuanya. (lihat air musta’mal)

2) Air Banyak yaitu air muthlaq yang mencapai 2 kulah atau 1 karra (216 liter atau 60 cm kubik) atau lebih. Cara menggunakannya: untuk menghilangkan najis bisa dikucur atau langsung dimasukkan ke dalam air, asal najis yang ada tidak merubah kondisi bau, rasa dan warna air, jika merubah, maka air menjadi mutanajis. (lihat air musta’mal). Sedang dalam menghilangkan hadats baik wudlu maupun mandi setelah kita membersihkan kotoran dan najis yang ada, maka air tersebut bisa dikobok dengan tangan secara langsung, karena yang seperti itu tidak akan menjadikan air tersebut musta’mal.

عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّهُ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ (رواه ابو داود والترمذي و النسائي و أحمد والبيهقي)

Dari Abdullah bin Umar r.a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila air itu ada / sampai 2 kulah, maka air tersebut tidak membawa kotoran / sesuatu yang rusak. (H.R. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ahmad dan al-Baihaqi)

Sebagai study kasus perbandingan madzhab, apabila orang yang berjunub (hadats besar) menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang terkena najis, dengan niat membersihkan hadats, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta’mal dan tidak menghilangkan jinabah (hadats besar)nya, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Imam Syafi’i, Hanafi dan mazhab Syiah Imamiyah berpendapat bahwa air itu menjadi musta’mal tetapi menyucikan jinabah orang tersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi karena hadats besarnya sudah hilang. (Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, hal 5)

Air Mengalir dan Air Tenang, madzhab Syafi’i tidak membedakan antara air mengalir dan air tenang, yang memancar ataupun tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak dan sedikitnya air. Banyak ialah dua kullah. Imam Syafi’i berkata: Jika air yang mengalir itu cukup 2 kulah dan tidak berubah walaupun ia bercampur najis, maka semua air itu suci. Jika air yang mengalir itu tidak sampai 2 kulah, maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis (air mutannajis) sedang yang mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلكُمْ فِى الْقُرآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّحِمِيْنَ

Tulisan Terkait : 

2 komentar: